Saturday, 2 July 2016

Mengungkap Sejarah Masuknya Islam, Kerajaan- Kerajaan Islam dan Islam Modern di Indonesia.



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Penduduk kepulauan Indonesia sejak zaman pra sejarah dikenal sebagai pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara. Wilayah Barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, karena hasil bumi yang dijual disana menarik bagi para pedagang dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India. Sementara itu, pala dan cengkeh yang berasal dari Maluku dipasarkan di Jawa dan Sumatera untuk kemudian di jual kepada para pedagang asing. Pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatera dan Jawa antara abad ke-1 dan ke-7 M sering disinggahi para pedagang asing seperti Lamuri(Aceh), Barus dan Palembang di Sumatera, Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa.
Bersamaan dengan itu, datang pula para pedagang yang berasal dari Timur Tengah. Mereka tidak hanya membeli dan menjajakan barang dagangan, tetapi ada juga yang berupaya menyebarkan agama Islam. Dengan demikian, agama Islam telah ada di Indonesia ini bersamaan dengan kedatangan para pedagang Arab tersebut. Meskipun belum tersebar secara intensif ke seluruh wilayah Indonesia.
Pengaruh adanya perdagangan lintas Negara tersebut sangat mempengaruhi pola pikir masyarakat Nusantara mulai dari pendidikan, pola hidup, dan adat istiadat.

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1     Bagaimana Kedatangan Islam di Indonesia ?
1.2.2     Apa saja Kerajaan Islam di Nusantara?
1.2.3     Bagaimana Islam di Indonesia pada zaman Modern?



BAB II
PEMBAHASAN

2.1.Kedatangan Islam di Indonesia
Secara geografis letak Indonesia jauh dari pusat Islam di Timur Tengah. Hal ini kemudian dapat menimbulkan beberapa kemungkinan antara lain, tidak melibatkanfath/opening (ekspansi militer) seperti halnya daerah-daerah Islam lainnya di Timur Tengah, benua India sampai ke Eropa. Implikasinya adalah tidak pernah terjadi perubahan yang secara drastis terhadap tradisi setempat untuk berganti dengan tradisi yang dibawa dari luar. Kemungkinan yang kedua adalah Indonesia memiliki proses arabiasi yang minimal (kurang terjadi arabiasi atau disarabisasi). Tradisi-tradisi arab sedikit sekali berkembang di Indonesia. Hal ini kemudian menimbulkan penilaian bahwa Islam Indonesia tidak sama dengan Islam yang terdapat di Timur Tengah atau paling tidak Islam Indonesia tidak terjamin kemurniannya sebab faktor geografis serta interval waktu antara munculnya Islam di dunia (abad ke-6 Masehi) dengan berkembangnya Islam di Indonesia yang secara massif baru pada abad 12 atau 13 Masehi.[1]
Menurut pendapat banyak peneliti masyarakatdi Indonesia seperti J. Benda dan Clifford Geertz, bahwa sebelum kedatangan islam, Indonesia telah di warnai oleh budaya India dan budaya lokal. Masuknya budaya India yang bersifat mistik ke wilayah Nusantara melalui agama Hindu dan Budha. Sedangkan budaya lokal yang menonjol saat itu adalah budaya agraris. Integrasi budaya tersebut pada gilirannya membentuksuatu corak budaya baru yang singkretis yaitu perpaduan antara unsur agama Hindu,Budha, dan ajaran-ajaran nenek moyang.[2]
Sejak awal masehi Indonesia merupakan Negara yang sering dilewati oleh pedagang-pedagang asing baik itu dari India, Cina atau Timur Tengah. Contohnya seperti di Malaka dan wilayah barat Nusantara. Pada masa kuno wilayah ini menjadi titik perhatian para pedagang asing dan juga menjadi lintasan penting antara India dan Cina. Pedagang muslim asal Arab Persia dan India juga ada yang sampai ke Kepulauan Indonesia untuk berdagang. Sejak abad ke-7 M atau abad ke-1 Hijriah ketika Islam pertama kali berkembang di Timur Tengah. Diperkirakan sejak abad ini pribumi Indonesia sebagian diantaranya ada yang masuk Islam. Hanya saja menurut Mohammad Nur Hakim dalam Taufik Abdullah mengatakan bahwa belum ada bukti pribumi Indonesia yang disinggahi oleh pedagang muslim itu beragama Islam. Baru pada zaman-zaman berikutnya penduduk kepulauan ini masuk Islam bermula dari penduduk pribumi dikoloni-koloni  pedagang Islam itu. Menjelang abad ke-13 M, masyarakat muslim sudah ada di Samudera Pasai, Perlak dan Palembang. Dari sinilah akhirnya Islam bisa berkembang ke daerah-daerah yang lainnya berkembang ke Pulau Jawa dan lainnya sampai sekarang. Masuknya Islam di Indonesia tentunya melalui tahapan-tahapan dan dengan adanya metode-metode yang diterapkan sehingga mampu untuk mengislamkan kepulauan Indonesia.
Teori tentang masuknya Islam di Indonesia
Mengenai asal, tokoh pembawa, waktu dan tempat islamisasi pertama kali di Indonesia masih merupakan masalah yang kontroversal. Hal ini disebabkan kurangnya data yang dapat digunakan untuk merekontruksi sejarah yang valid, juga adanya perbedaan-perbedaan tentang apa yang dimaksud dengan “Islam”. Sebagian sarjana dan peneliti memberikan pengertian Islam dengan kriteria formal yang sangat sederhana seperti pengucapan kalimat syahadat atau pemakaian nama Islam. Sebagian yang lain mendefinisikan Islam secara sosiologis, yakni masyarakat itu dikatakan telah Islam, jika prinsip-prinsip Islam telah berfungsi secara aktual dalam lembaga sosial, budaya dan politik. Jadi, mereka menganggap bacaan kalimat syahadat tidak dapat dijadikan bukti adanya penetrasi Islam dalam suatu masyarakat. [3]
Setidak - tidaknya ada 4 teori tentang islamisasi awal di Indonesia. Yaitu islam yang bersumber dari Anak Benua India(teori India),teori Arab, teori Persia, teori Cina.
1.      Teori india (Gujarat)
Teori ini di kemukakan oleh Pijnappel Snouck Hurgronje, Moquette, dan Fatimi. Dalam teori ini dijelaskan bahwa Islam pertama kali datang ke Indonesia berasal dari anak Benua India sekitar abad ke-13.
Pijnappel mengajukan bukti adanya persamaan mazhab Syafi’iantara Anak Benua India  dengan Indonesia. Orang-orang Arabyang bermazhab Syafi’i bermigrasi dan menetap di Gujarat dan Malabar kemudian membawa islam ke Nusantara. Jadi ia bependapat bahwa islamisasi di Nusantara dilakukan oleh orang Arab tetapi bukan datang langsung dari Arab,melainkan dari India, terutama dari Gujarat dan Malabar.
Snouck Hurgronje berpendapat bahwa saat islam mempunyai pengaruh yang kuat di kota-kota India selatan, banyak muslim Dhaka di sana. Mereka inilah yang pertama menyebarkan agama islam ke kepulauan Melayu, kemudian di ikuti oleh orang-orang Arab. Ia menyatakan bahwa islam bukan berasal dari Arab tetapi berasal dari India, karena sudah lama terjalin hubungan perdagangan antara Indonesia dengan India dan adanya inskripsi tertua tentang Islam  yang terdapat di Sumatra mengindikasikan adanya hubungan antara Sumatra dan Gujarat.
Snouck Hurgronje menyebutkan bahwa Sumatra Utara, yaitu mengenai Pasai dijumpai dalam kisah perjalanan Ibnu Battuta, musafir Maroko yang singgah di daerah itu pada tahun 1345 M dalam perjalanannya  dari Banggala ke Tiongkok, merupakan tempat yang penting bagi rekontruksi perkembangan Islam di kepulauan itu. Sebagaimana dalam catatan ibnu Battuta, Snouck Hurgronje menyebutkan adanya tiga batu nisan muslim dari paruh pertama abad ke-15 M yang ditemukan di distrik  Pasai. Di antara batu nisan itu ada tulisan tentang kematian seorang “pangeran Abbasiah”. Pangeran itu mendapatkan tempat yang mulia  yang terakhir di Sumatra Utara pada tahun 1407 M. ia terdampar di Delhi dan atas tanggungan Maha raja Hindustan ayahnya menetap di sana dalam waktu yang lama. Snouck Hurgronje juga menyebutkan ketiga batu nisan itu mempunyai persamaan dengan batu nisan Maulana Malik Ibrahim di Gresik yang meninggal pada tahun 1419M.
Mosquette berpendapat ada persamaan antara gaya batu nisan yang ada di Pasai, Sumatra Utara, khususnya yang bertanggal 17 Dzulhijjah 831 H/ 27 September 1428 M dan di Gresik, yakni makam Makam Maulana Malik Ibrahim (822 H/1449 M) dengan batu nisan yang ada di Cambay, Gujarat. Batu-batu nisan itu semuanya berasal dari abad ke-15 M dan sesudahnya. Jadi ada hubungan antara Indonesia dengan Gujarat pada periode tertentu. Mengenai batu-batu nisan yang ditemukan di distrik Pasai sebelum abad ke-15,seperti batu nisan Malik Al-Shalih (1297 M) di pandang oleh Moquette bentuknya berbeda dengan yang ada Cambay, meskipun batu nisan itu berasal dari India dan diletakkan di makam itu beberapa waktu setelah meninggalnya raja itu.
Pendapat Moquette dibantah oleh Fatimi dengan mengajukan argumentasi bahwa batu nisan yang ada di Makam Malik Al-Shalih di Samudra Pasai ada persamaannya dengan yang ada di Bengal (sekarang Bangladesh), sedangkan batu nisan Malik Al- Shalih coraknya sangat berbeda dengan batu nisan yang ada di Gujarat dan prototipe Indonesianya. Fatimi mengatakan bahwa sebagian besar orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunannya. Islam pertama kali muncul di Semenanjung Malaya dari arah pantai timur, bukan dari arah barat(Malaka), pada abad ke-11 , melalui Kanton ,Phanrang (Vietnam), Leran dan Trengganu. Ia berpendapat bahwa Islam ada di Semenanjung lebih mirip dengan Islam di Phanrang dan elemen-elemen prasasti Trengganu juga lebih mirip dengan prasasti yang di temukan di Leran. Tapi meskipun demikian pendapat Moquette banyak di dukung oleh peneliti-peneliti lain.
2.      Teori Arab (Makkah)
Teori ini antara lain di kemukakan oleh Sir Thomas Arnold, Niemann, dan de Hollader. Arnold berpendapat bahwa selain dari Coromandel dan Malabar Islam Nusantara juga berasal dari Arab.  Bukti yang dia ajukan ialah adanya kesamaan mazhab antara di Coromandel dan Malabar dengan mazhab mayoritas umat Islam di Nusantara. Mereka mempunyai peranan penting dalam perdagangan antara India dan Nusantara. Di samping juga melakukan kegiatan perdagangan, mereka juga menyebarkan islam.
Mengenai pendapat Arnold tentang asal Islam Nusantara dari Arab, ia berpendapat bahwa para pedagang Arab membawa Islam saat mereka menguasai perdagangan Barat-Timur sejak awal abad ke-7 M dan ke-8 M. Dapat diduga bahwa mereka juga menyebarkan agama Islam ke Nusantara. Ia juga mengatakan bahwa sebuah sumber Cina mengatakan bahwa menjelang seperempat ketiga abad ke-7 M ada seorang Arab yang  menjadi pemimpin pemukiman Arab muslim dipesisir barat Sumatra. Mereka ini juga melakukan kawin campur dengan penduduk setempat, sehingga muncullah komunitas muslim.
Niemann dan de Hollader mengatakan bahwa Islam datang dari Hadramaut, karena ada persamaan antara mazhab yang dianut oleh muslim Hadramaut dengan muslim Nusantara, yaitu mazhab Syafi’i.
Sejumlah ahli Indonesia sepakat dengan teori ini, mereka memberi alasan bahwa mazhab Syafi’i di Mekah mendapat pengaruh yang luas di Indonesia.  Mereka juga berpendapat bahwa pada tahun 674 M telah terdapat perkampungan Arab Islam di pantai barat Sumatra dan telah terjadi hubungan Indonesia – Arab jauh sebelum abad ke-13 M pembawa agama Islam itu adalah para saudagar Arab. Mereka mengatakan bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-7M langsung dari Arab. Menurut Azyumardi Azra ada empat hal yang disampaikan oleh historiografi tradisional berkaitan dengan islami Nusantara. Pertama, Islam Nusantara berasal dari Arab. Kedua, Islam dibawa oleh juru dakwah yang professional. Ketiga, yang pertama kali masuk islam adalah berasal dari kalangan penguasa. Keempat, sebagian besar juru dakwah itu datang ke Nusantara pada abad Ke-12 M dank e-13M. memang sejak abad pertama Hijriyah sudah ada orang Islam di Nusantara tetapi baru abad ke-12M  sampai abad ke-16M pengaruh islam di Nusantara tampak lebih jelas dan kuat.
3.      Teori Persia
Teori ini dikemukakan oleh P.A Oesein Djajadiningrat. Dalam teori ini bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 M di Sumatra, yang berpusat di Samudra Pasai. Dia mendasarkan argumennya pada persamaan budaya yang berkembang dikalangan masyarakat Islam Indonesia dengan budaya yang ada di Persia.
Bukti-bukti persamaan budaya itu antara lain :
a.       Adanya peringatan 10 Muharram atau Assyura yang merupakan tradisi yang berkembang dalam masyarakat Syi’ah untuk memperingati hari kematian Husain dan Karbela. Tradisi ini diperingati dengan membuat bubur Syuro. Bulan Muharram di Minangkabau disebut dengan bulan Hasan Husain, sedangkan di Sumatra Tengah sebelah barat disebut Bulan Tabut. Masyarakat Sumatra Tengah sebelah barat ini dalam memperingati Bulan Tabut mereka mengarak keranda diatas namakan Keranda Husain yang disebut dengan “Keranda Tabut”  untuk dilemar ke sungai.
b.      Adanya persamaan antara ajaran al-Hallaj, tokoh Sufi Iran dengan ajaran Syeh Siti Jenar.
c.       Persamaan dalam system mengeja huruf arab bagi pengajian Al Qur’an tingkat awal.
Bahasa Iran                                                       Bahasa Arab
Jabar – Zabar                                                     Fathah
Jer – Ze er                                                          Kasrah
P’es- Py’es                                                         Dhammah
Disamping itu, mengenai huruf sin yang tak bergigi berasal dari Persia sedangkan yang bergigi berasal dari arab.
d.      Adanya persamaan batu nisan yang ada di makam Malik Al Shaleh (1297 M) di Pasai dengan makam Malik Ibrahim (1419 M) di Gresik yang dipesan dari Gujarat. Dalam hal ini Hoesein Djajadiningrat berpendpat bahwa` Gujarat merupakan daerah yang mendapat pengaruh dari Persia yang menganut paham Syi’ah dan dari sinilah Syi’ah dibawa di Indonesia.
Meskipun demikian , teori Persia ini juga memandang adanya pengaruh Madzhab Syafi’I di Indonesia yang berasal dari Malabar, yang merupakan mazhab paling utama di daerah itu.
4.      Teori Cina
Teori ini menyatakan bahwa Islam datang ke Nusantara bukan dari Timur Tengah/ Arab maupun Gujarat/ India, tetapi dari Cina. Pada abad ke-9 M banyak orang muslim Cina di Kanton dan wilayah Cina selatan lain yang mengungsi ke Jawa, sebagian ke Kedah dan Sumatra. Hal ini terjadi karena pada masa Huan Chou terjadi penumpasan terhadap penduduk Kanton dan wilayah Cina selatan lainnya yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Disamping adanya pengungsi Cina ke Jawa pada abad ke-9 M, pada abad ke8-11 M sudah ada pemukiman Arab muslim di Cina dan di Campa. Memang sudah terjadi hubungan perdagangan yang cukup lama antara orang-orang Cina dengan orang-orang Jawa.[4]
Cina mempunyai peranan yang besar dalam perkembangan Islam di Indonesia. Disamping bukti-bukti diatas, arsitektur masjid Demak dan juga berdasarkan catatan sejarah beberapa sultan dan sunan yang berperan dalam penyiaran agama Islam di Indonesia adalah keturunan Cina, misalnya Raden Patah yang mempunyai nama Cina Jin Bun, Sunan Ampel dan lain-lain.[5]
Islam di Indonesia dilakukan dengan cara damai atau tanpa ada penumpahan darah. Menurut Uka Tjandrasasmita[6] masuknya Islam di Indonesia dilakukan enam saluran yaitu:
1.      Saluran Perdagangan
Masuknya pedagang-pedagang asing dikepulauan Indonesia seperti Arab. Cina, Persia dan India merupakan awal mula masuknya islam di Indonesia yaitu bermula dari bermukimnya para pedagang asing di pesisir jawa yang penduduknya masih kafir. Hingga akhirnya mereka mampu mendirikan masjid-masjid dan pemukiman muslim.
2.      Saluran pernikahan
Dilihat dari sudut ekonomi para pedagang muslim memiliki status sosial lebih baik dari pada pribumi Indonesia sendiri, sehingga tidak sedikit penduduk pribumi yang tertarik dengan para pedagang muslim tersebut khususnya putra-putri raja dan bangsawan. Proses islamisasi ini dilakukan sebelum adanya pernikahan yang kemudian dilanjutkan dengan proses pernikahan sampai pada akhirnya mereka mempunyai keturunan dan mampu membuat daerah-daerah atau bahkan kerajaan-kerajaan Islam. Jalur pernikahan ini lebih menguntungkan apabila terjadi antara saudagar muslim dengan anak bangsawan atau anak raja dan adipati, karena bangsawan, raja, dan adipati dapat mempercepat proses masuknya Islam di Indonesia.
Demikianlah yang terjadi antara Raden Rahmad atau Sunan Ampel dengan Nyai Manila. Sunan Gunung Jati dengan Putri Ngaunganten. Brawijaya dengan Putri Campa yang menurunksn Raden Fatah (raja pertama Demak).
3.      Saluran Tasawuf
Pengajar-pengajar tasawuf  atau para sufi, mengajarkan teosofi yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mempunyai kemampuan dan kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Diantara mereka juga ada yang mengawini putra-putri bangsawan setempat dengan ilmu tasawufnya. Mereka mengajarkan Islam kepada pribumi yang mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan diterima. Diantara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan alam pikiran Indonesia pra Islam itu adalah Hamzah Fansuri di Aceh, Syeh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa. Ajaran mistik seperti ini masih berkembang di Indonesia di abad ke-19 M bahkan di abad ke-20 M ini.
4.      Saluran Pendidikan
Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai, dan ulama-ulama. Di pesantren atau pondok itu, calon ulama, guru agama, dan kiai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang kekampung masing-masing kemudian mereka berdakwah ketempat tertentu mengajarkan Islam. Misalnya, pesantern yang didirikan oleh Raden Rahmat di Sunan Denta Surabaya Sunan Giri di Giri. Keluaran pesantren Giri ini banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajarkan agama Islam.
5.      Saluran Kesenian
Saluran Islamisasi melalui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang. Dikatan, Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Dia tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabrata dan Ramayana, tetapi di dalam cerita itu disisipkan ajaran dan nama-nama pahlawan Islam. Kesenian-kesenian lain juga dijadikan alat Islamisasi, sperti sastra (hikayat, babad, dan sebagainya), seni bangunan dan seni ukir.
6.      Saluran Politik
Di Maluku dan Sulawesi Selatan, kebanyakan rakyat masuk Islam setelah rajanya memeluk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam didaerah ini. Disamping itu, baik di Sumatera dan Jawa maupun di Indonesia bagian timur, demi kepentingan politik, kerajaan-kerajaan Islam memerangi kerajaan-kerajaan non-Islam. Kemenangan kerajaan Islam secara politis banyak menarik penduduk kerajaan bukan Islam itu masuk Islam.
2.2.Kerajaan Islam di Nusantara
2.2.1  Kerajaan Islam di Sumatra
         Adanya berita dari Marcopolo yang mengatakan ketika ia mengunjungi Sumatra penduduk Sumatra Utara beragama Hindu kecuali Ferlec yang sudah beragama Islam dan adanya batu nisan kubur di Aceh dengan nama Sultan Al-Malik Al Saleh yang berangka tahun wafat 1297 M menandakan bahwa Islam sudah tumbuh dan berkembang di wilayah Sumatra.
         Untuk mengetahui sejarah dari kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra juga diperlukan pengetahuan tentang kekuasaan-kekuasaan yang ada pada sebelumnya. Sebelum berdirinya kerajaan Islam di Sumatra, pemegang emporium atas pelayaran dan perdagangan dari Barat ke Cina atau sebaliknya adalah kerajaan Sriwijaya.[7] Setelah beberrapa abad lamanya memegang kekuasaan pelayaran an perdagangan datang masa kemerosotan dan kemundurannya pada abad ke-11 sampai abad ke-13. Hal ini disebabkan antara lain, serangan dari Cola sekitar tahun 1025 M an kekalahan atas kekuasaan di Jawa Timur pada abad ke-13. Dengan mundur dan merosotnya kerajaan Sriwijaya sebagai pusat perdagangan pemerintahan Sriwijya dipindahkan dari Palembang ke Jambi dan kedudukannya digantikan oleh Bajak Laut. Pusat perdagangan pun mulai terpencar diantaranya di Pidie dn Samudra Pasai
2.2.2.1  Kerajaan Perlak
          Peureulak adalah nama suatu derah di wilayah Aceh Timur yang banyak ditumbuhi Kayei Peureulak atau Kayu Perlak, kayu ini sangat bagus sebagai bahan pembuatan kapal sehingga banyak orang luar datang membeli kayu tersebut. Mereka menyebut daerah tempat pembelian dengan nama kayu yang dihasilkannya sehingga terkenal dengan nama sebutan Negeri Perlak.
            Adapun para sultan yang memimpin kerajan Perlak adalah setelah Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah (225-249 H=840-864 M) Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Rohim Shah (249-285 H=864-888 M) Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (285-300 H=888-913 M) Masa pemerintahan ketiga sultan ini disebut sebagai pemerintahan dinasti Syed Maulana Abdul Aziz Shah.[8]
            Pada tahun 302-305 H=915-918 M naiklah Syed Maulana Ali Mughayat Shah sebagai sultan, setelah kurang dari 3 tahun. Pada akhir masa pemerintahannya ada pergolakan antara dua golongan. Kemenagan ada dipihal Ahlus Sunnah wal Jama’ah sehingga sultan yang diangkat untuk memerintah Perlak diambil dari golongannya yaitu dari keturunan Meurah Perlak asli (Syahir Nuwi)
            Adapun urutan sultan yang memerintah adalah sebagai berikut:
1.       Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Shah Johan Berdaulat (306-310 H=928-932 M)
2.       Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah Johan Berdaulat (310-334 H=932-956 M)
3.       Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat (334-362 H=956-983 M)
2.2.2.2       Samudra Pasai
            Samudra Pasai disebut sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia, keberadaan kerajaan Islam ini didukung oleh adanya bukti batu nisan kubur yang menunjukkan raja pertama Al Malik Al Saleh yang wafat pada bulan Ramadhan 696 H atau sekitar 1297 M. Ia juga merupakan pendiri Kerajaan Samudra Pasai, hal ini diketahui dari tradisi hikayat raja-raja Pasai, sejarah Melayu dan hasil penelitian yang dilakukan oleh sarjana Barat.
            Ada satu sumber lain yang mengatakan tentang berdirinya kerajaan Samudra Pasai sejak tahun 443 H atau 1024 M sedangkan pemdrinya adalah Meurah Khair yang setelah menjadi raja bergelah Maharaja Mahmud Shah. Ia memerintah sampai tahun 470 H atau 1078 M. Setelah itu pemerintahan dipegang oleh
1.       Maharaja Mansur Syah (470-527 H/ 1078-1133M)
2.       Maharaja Ghiyasyuddin Syah(cucu Meurah Khair)(527-550 H/1133-1155 M)
3.       Maharaja Nurudin (Meurah Noe) atau Tengku Samudra atau Sultan Al Kamil (550-607 H/1155-1210 M)[9]
2.2.2.3       Kerajaan Malaka
            Hubungan pelayaran dan perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang muslim melalui Selat Malaka semakin lama semakin kuat sampai pada masa awal abad ke-13 M sehingga terbentuklah perkampungan Islam di Pesisir Samudra. Akibat hubungan itu Selat Malaka dengan Samudra Pasai menjadi suatu tempat persinggahan para pedagang. Maka sampailah Islam ke bagian Semenanjung Melayu yaitu ke Treangganu dan ini merupakan bukti nyata yang tidak dapat dipungkiri lagi tentang kedatangan dan tumbuhnya masyarakat Islam di daerah tersebut.[10]
            Pada abad ke-15 Malaka menjadi emporium yang sangat penting di Asia Tenggara. Malaka menjadi kota Metropolitan, sebuah Bandar yang makmur dan temat berbaurnya berbagai bangsa dan kebudayaan yang beragam pula. Pendirinya adalah Para weswara yang setelah memeluk Islam setelah berumur 72 Tahun bergelar Megat Iskandar Syah wafat tahun 1424 M.[11]Penggantinya adalah Sultan Muhammad Syah (1414-1444 M).
2.2.2.4  Kerajaan Aceh Darussalam
            Menurut Annas Machmud kerajaan Aceh berdiri paa abad ke-15 M diatas puing-puing Kerajaan Lamuri. Pendirinya adalah Muzaffar Syah (1465-1497 M).[12]  Dialah yang membangun Kota ceh Darussalam yang pada waktu itu mulai mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan walaupun pada saat itu, dapat dikatkan bahwa Banda Aceh sebagai Bandar Niaga tidak terlalu ideal untuk plbuhn kpal-kapal besar karena ombak besar Sampudra Hindia. Akan tetapi, setelah Malaka jatuh ketangan Portugis 1511 M para pedagang muslim lebih memilih Bandar Aceh daripada Malaka dengan raainya Bandar (banyak didatangi pedagang) maka kesultanan Aceh banyak mendapat keuntungan)
2.2.2  Kerajaan Islam di Jawa
2.2.2.1  Kerajaan Demak (1500-1550)
         Menurut tradisi yang tercantum dalam histografi tradisional jawa, pendiri kerajaan Demak adalah Raden Patah dia adalah seorang putra raja Majapahit dari istri cina yang dihadiahkan kepada raja Palembang.[13] Graaf menyatakan bahwa asal usul raja Demak dari keturunan Cina dapat dipercaya bahkan dia sudah menganut Islam ketika ia menetap disana. Konon ia berasal dari Gresik (Jawa Timur) dam menjabat sebagai Pati. Dia hidup di Demak pada seperempat terahir abad ke-15 M.[14]
2.2.2.2  Kerajaan Pajang (1568 – 1618)
         Pengesahan Joko Tingkir sebagai raja pertama Pajang disahkan oleh Sunan Giri (salah seorang Wali Songo) dan segera mendapatkan pengakuan dari adipati- adipati di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan Demak hanya sebagai kadipaten yang dipimpin oleh seorang adipati, Arya Pangiri. Dia adalah anak seorang Prawoto yang diangkat oleh Sultan Pajang.[15]Menjelang keruntuhan pemerintah Pajang, orang orang Mataram sudah memainkan peran panting disana. Peran tersebut diawali tatkala senopati anak Kiai Ageng Pamanahan (teman Adiwijaya) yang dapat membunuh Arya Panangsang mendapat gelar “Panembahan” (bupati) Mataram. Setelah Arya Panangsang meninggal pada tahun 1558, orang orang Sela menerima darah Pati dan daerah Mataram sebagai hadiah bagi jasa yang telah mereka berikan. Dari peristiwa itu pula di Pajang muncul nama Kiai Ageng Pamanahan dan Senopati seperti yang disebut di atas. Dan juga Kiai Ageng menjadi perintis Kerajaan Mataram dan dia juga dalam waktu singkat menjadikan daerah menjadi semakin maju. Selanjutnya 1586 dia mengangkat dirinya sebagai Raja Mataram. Tatkala menjadi raja Senopati menguasai Mataram, Kedu, dan Banyu Mas sedngkan  Pajang sendiri dan daerah daerah yang menjadi kekuasaannya serta Demak belum mau tunduk, bahkan wilayah pesisir menentangnya namun tatkala dia meninggal, Jwa Tengah dan sebagian Jawa Timur sudah dapat ditaklukkan.
2.2.2.3  Kerajaan Cirebon
         Menurut tradisi seperti yang tertera dalam historiografi traisional, pendiri kerajaan Cirebon adalah Sunan Gunung Jati. Ia bernama Nurullah. Kemudian terkenal dengan sebutan Syeh Maulana. Penulis-penulis Portugis mengalnya dengan sebutan Falatehan. Adapun Hamka menyebut Falatehan dengan Fatahillah. Nama tersebut merupakan penghargaan tertinggi dari Sultan Trenggana karena dia dapat menklukkan Banten, sedangkan nama sebelumnya adalah Syarif Hidayatullah.[16]
2.2.2.4  Kerajaan Banten
         Sejak sebelum zaman Islam, dibawah kekuasaan Raja Sunda,  Banten sudah menjadi kota ynga tak berarti. Pada tahun 1524 atau 1525 Nurullah dari Pasai, yang kelak menjadi Sunan Gunung Jati, telah berlayar dari Demak Ke Banten untuk meletakkan dasar bagi pengembangan agama Islam dan perdagangan orang Islam. Menurut cerita Jawa Banten setelah sampai di Banten dia berhasil menyigkirkan bupati Sunda dengan bantuan untuk mengambil kekuasaannya disitu. Kira kira tahun 1527 dibawah pimpinan Hasanuddin- tokoh ke-2 setelah dianggap sebagai pendiri Banten- menduduki kota pelabuhan Sunda Kelapa. Sementara itu Hasanuddin semakin berkuasadan tidak menghiraukan Demak yang sekitar rahun 1550 kacau. Pada tahun 1568, dia memutuskan hubungan dengan Demak dan menyatakan dirinya raja pertma di banten untuk itu ia menyatakan dirinya sebagai raja pertama di Banten dan meluaskan wilayahnya sampai ke Lampung.
2.2.2.5       Kerajaan Islam di Madura
         Tatlkala Sultan Agung berkuasa, pada thaun 1624 Madura dapat ditaklukkan. Satu satunya keturunan raja Madura yang hidup adalah Raden Praseno keudian ia membawa ke Mataram. Setelah dewasa dia ikawinkan dengan adik Sultan Agung. Selanjutnya, pulau Madura dipercayakan kepada Raden Praseno dan diberi gelar Pangeran Cakraningrat I (1624-1648). Akan tetapi dia lbih banyak berada di Mataram dari pada di Madura namun, pemerintahannya terus berjalan. Pusat pemerintahannya di Sampang Madura Barat sebagai pengganti Aros Baya.[17]
2.3     Islam modernis di indonesia
2.3.1        Gerakan Modern Islam (Asal Usul dan Perkembangan)
Pembaruan dalam Islam atau gerakan modern Islam merupakan jawaban yang ditujukan terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya. Kemunduran progresif kerajaan Usmani yang merupakan pemangku khilafah Islam, setelah abad ketujuh belas, telah melahirkan kebangkitan Islam di kalangan warga Arab di pinggiran imperium itu, yang terpenting puritanis (salafiyyah). Gerakan ini merupakan sarana yang menyiapkan jembatan ke arah pembaruan Islam abad ke 20 yang lebih bersifat intelektual.
Katalisator terkenal gerakan pembaruan ini adalah Jamaluddin Al Afghani (1897). Ia mengajarkan solidaritas PAN Islam dan pertahanan terhadap imperialisme Eropa, dengan kembali kepada Islam dalam suasana secara ilmiah di modernisasi. Gerakan ini telah memberikan pengaruh besar kepada gerakan kebangkitan Islam di Indonesia.
Memasuki abad ke -20 dinamika Islam di Indonesia ditandai dengan muncul dan berkembangnya corak baru wacana dan pemikiran Islam yang biasa disebut banyak ahli sebagai modernisme Islam. Kemunculan corak baru wacana Islam ini tidak terlepas dari perkembangan al Afghani, Muhammad Abdul, Rasyid Ridha dan lain-lain. Pemikiran yang dikembangkan para tokoh-tokoh ini telah memberikan stimulus global bagi kemunculan gerakan modernisme Islam di berbagai kawasan dunia Islam termasuk Indonesia.
Bermula dari pembaruan pemikiran dan pendidikan Islam di Minang Kabau, yang disusul oleh pembaruan pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Indonesia, kebangkitan Islam semakin berkembang membentuk organisasi-organisasi sosial keagamaan seperti serikat dagang Islam (SDI) di Bogor (1909) dan Solo (1911), Perserikatan Ulama di Majalengka, Jawa Barat dan Solo (1911), Muhammadiyah di Yogyakarta (1912), Persatuan Islam (Persis) di Bandung (1920-an), Nadlatul Ulama (NU) di Surabaya (1926), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Bandung, Bukittinggi (1930); dan Partai-partai politik, seperti serikat Islam (SI) yang merupakan kelanjutan dari SDI, persatuan Muslimin Indonesia (Permi) di Padang panjang (1932) yang merupakan kelanjutan dan perluasan dari organisasi pendidikan Thawalib, dan Partai Islam Indonesia (PII) pada tahun 1938.
Sementara itu, hampir pada waktu yang bersamaan, pemerintah penjajah menjalankan politik etis, politik balas budi. Belanda mendirikan sekolah-sekolah formal bagi bumi putra, terutama dari kalangan priyayi dan kaum bangsawan. Pendidikan Belanda tersebut membuka mata kaum terpelajar akan kondisi masyarakat Indonesia. Pengetahuan mereka akan kemiskinan, kebodohan dan ketertindasan masyarakat Indonesia, pada saatnya mendorong lahirnya organisasi-organisasi sosial, seperti Budi Utomo, Taman siswa, Jong Java, Jong Sumatera Bond, Jong Ambon, Jong Selebes, dan lain sebagainya.
Organisasi-organisasi sosial keagamaan Islam dan organisasi-organisasi yang didirikan kaum terpelajar di atas, menandakan tumbuhnya benih-benih nasionalisme dalam pengertian modern. Namun, kebanyakan anggota masing-masing saling berhadapan sebagai dua belah pihak yang-walaupun dalam banyak hal dapat bekerjasama-seringkali bertentangan.
Gerakan-gerakan Islam pada masa ini dapat dilihat sebagai dampak perubahan yang dilakukan order baru di bidang ekonomi dan sosial politik. Kecenderungan itu terjadi karena kebangkitan order baru bukan saja ditandai dengan perubahan kritis terhadap struktur politik, tetapi yang lebih penting adalah perubahan pemikiran di berbagai dimensi kehidupan bangsa. Kepeloporan dari para kalangan kampus, kaum intelektual dan teknokrat  merupakan induksi kebangkitan order baru yang mencerminkan revolusi kaum menengah kota. Demikian pula di kalangan Islam hal itu mencerminkan kiprah dan perubahan alam pikiran yang secara dinamis memberikan ide-ide alternatif dalam merespon orientasi politik orde baru yang terkonsepsi dalam pembangunan.
Pengembangan ide pokok-pokok “pembangunan” itu identik dengan isumodernisasi dan bahkan dalam beberapa segi lebih diasosiasikan sebagai “proses westernisasi” karena penekanan kuat pada pola atau model pembangunan negara-negara barat. Ide tersebut pada gilirannya  mempengaruhi  perubahan pemikiran keislaman kaum muslimin. Persoalan yang muncul dikalangan Islam adalah bagaimana melihat ‘modernisasi’ dari kaca mata ajaran Islam. Dari persoalan ini muncul gagasan-gagasan baru, terutama dari kalangan intelektual dan pada gilirannya melahirkan pula model-model baru gerakan keagamaan sebagai reaksi atas isu-isu pembangunan itu.
2.3.2        Kecenderungan Wacana Intelektual Islam Kontemporer dalam Lembaga-lembaga Modern.
Formulasi doktrin Islam dan pemikiran modern, yang menjadi ciri wacana Islam kontemporer adalah salah satu dampak signifikan dari arus Islamisasi melalui jaringan intelektual timur tengah-nusantara pada abad ke17 dan 18, yang ditandai dengan proses harmonisasi antara wacana Islam sufistik dan Islam syari’at. Arus modernisasi ini kemudian memunculkan organisasi-organisasi Islam di abad ke-20, yang sekaligus sering disebut sebagai ciri dari masyarakat Islam modern. Lahirnya serikat dagang Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan juga Sumatra Thawalib dan sebagainya menjadi wujud dari proses formulasi tersebut.
Lahirnya organisasi atau gerakan-gerakan sosial keagamaan, yang pada umumnya memiliki pemikiran-pemikiran transformative, menjadi ciri dari munculnya masyarakat modern, ketika wacana intelektual Islam pun menjadi lebih terbuka dan semakin bercorak plural. Dalam hal ini juga tidak dapat diabaikan, upaya-upaya organisasi tersebut dalam melakukan pembaruan pendidikan. Pendidikan tradisional melalui pesantren yang dulu hanya diselenggarakan dengan sangat sederhana, kurang sistematis dan hanya mempelajari ilmu-ilmu agama Islam saja kemudian diperbaharui dengan cara mengembangkan pendidikan sekolah atau madrasah yang didalamnya diajarkan mengenai ilmu-ilmu dunia yakni ilmu alam dan ilmu sosial.
Di samping itu, sejak dekade 1970-an, banyak bermunculan apa yang disebut intelektual muda muslim yang meskipun sering kontroversial, melontarkan ide-ide segar untuk masa depan ummat. Kebanyakan mereka adalah intelektual muslim berpendidikan yang terakhir ini sangat mungkin adalah buah dari kegiatan-kegiatan organisasi mahasiswa Islam seperti himpunan mahasiswa Islam, pergerakan mahasiswa Islam Indonesia, ikatan mahasiswa Muhammadiyah dan sebagainya.
Selain itu, peranan dari departemen agama yang telah banyak berjasa dalam membentuk dan mendorong kebangkitan Islam, tidak boleh dilupakan. Dengan mendirikan beberapa institut-institut Islam, Jepang sangat berjasa dalam menyiapkan guru-guru agama, pendakwah dan mubaliq dalam kuantitas besar. Bahkan departemen agama tutur berperan dalam memnbina madrasah dan pesantren-pesantren yang ada diseluruh wilayah nusantara ini. Kita juga tidak bisa mengabaikan, kebijaksanaan dari pemerintah yang telah membentuk majelis ulama Indonesia yang bisa dikatakan sebagai suatu forum pemersatu umat Islam di Indonesia. Aspirasi-aspirasi umat, termasuk aspirasi politik, juga bisa tersalurkan melalui lembaga ini.
Dari beberapa insititusi atau organisasi massa Islam yang masih eksis hingga saat ini, seperti Persis, Al Irsyad, Jami’at Khair, dan beberapa nama di luar jawa, seperti Nahdlatul Wathan, Sumatera Thawali, dan lain-lain, nampaknya hingga saat ini Muhammadiyah dan Nahdlatul ulama, lebih banyak dikenal oleh masyarakat luas. Ini juga tidak lepas dari seringnya dua ormas tersebut diwacanakan dalam berbagai kajian ilmiah, baik oleh ilmuwan  lokal maupun internasional selain itu  dua ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut juga memiliki struktur kepemimpinan yang sangat  hierarkis dari tingkat pusat di ibukota hingga ketingkat ranting di kelurahan-kelurahan
Selain organisasi-organisasi tersebut di atas, harus diakui pola peran dari organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok keagamaan Islam yang juga aktif menyelenggarakan kajian-kajian, hanya saja menurut sebagian orang mereka lebih sering memunculkan tema-team yang  lebih bersifat politis, bukan kajian murni yang bersifat ilmiah dan secara umum dianggap tidak memformulasikan pemikiran-pemikiran transformative dalam menghadapi persoalan-persoalan aktual, sehingga pemikiran-pemikiran mereka cenderung dianggap sebagai wacana periforal. Kelompok-kelompok tersebut berkeyakinan bahwa tata kehidupan yang baik dan bermartabat hanya dapat tercapai dengan mewujudkan kekhalifahan Islam. Oleh karenanya untuk mencapainya, mereka harus melalui perjuangan politik. Sebut saja seperti Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam dan beberapa nama lainnya. 
Perkembangan pemikiran di masa ini, pada intinya tidak terletak pada perbedaan kecenderungan pilihan wacana, tetapi  lebih kepada kepribadian metode tafsir terhadap nash, baik berkaitan dengan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an maupun al Hadits. Kecenderungan metode penafsiran tekstual oleh kelompok Islam “Fundamental” dengan kecenderungan metode tafsir liberal oleh komunitas Islam “liberal” adalah inti dari perbedaan kecenderungan pemikiran di antara mereka. Akan tetapi, berkaitan  persoalan-persoalan aktual yang muncul dewasa ini, pada akhirnya perbedaan bermuara kepada persoalan pemilihan wacana. Wacana kenegaraan dan penerapan syari’at Islam secara formal menjadi tema sentral komunitas Islam fundamental, sementara wacana tentang hak asasi manusia (HAM), demokrasi, pluralisme, multiculturalisme dan sebagainya menjadi tema-tema yang digemari oleh komunitas Islam liberal.
2.3.3        Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia
Seiring tumbangnya pemerintahan Soeharto, Islam di Indonesia menunjukkan dinamika yang kian bergemuruh. Berbagi kelompok dalam banyak bentuk bermunculan seperti organisasi massa, partai politik dan lembaga-lembaga kajian dan organisasi non pemerintah (ornop). Ini tentu tidak terlepas dari keterbukaan politik dan kebebasan berekspresi serta kebebasan berkumpul dalam sistem demokrasi sekarang. Sesungguhnya kita bisa melihat dari berbagai sudut pandang tentang polarisasi Islam paska orde baru ini. Mark Woodward (2001) misalnya mengelompokkan respon silam atas perubahan paska orde baru ke dalam lima kelompok. Pengelompokan Woodward ini tampaknya melihat dari sudut doktrin dan akar-akar sosial di dalam masyarakat Islam Indonesia yang lama maupun yang baru.
Pertama adalah indigenized Islam. Indigenized Islam adalah sebuah ekspresi Islam yang bersifat lokal; secara formal mereka mengaku beragama Islam tetapi biasanya mereka lebih mengikuti aturan-aturan lokalitas ketimbang ortodoksi Islam. Karakteristik ini paralel dengan apa yang disebut Clifford Geerts sebagai Islam Abangan untuk konteks Jawa. Kedua adalah kelompok tradisional Nahdlatul Ulama (NU). NU adalah penganut aliran Sunny terbesar di Indonesia yang dianggap memiliki ekspresinya sendiri karena disamping ia memiliki kekhasan yang tidak dimiliki kelompok lain seperti basis yang kuat di pesantren dan di pedesaan, hubungan guru murid yang khas.
Kelompok ketiga adalah Islam modernis. Mereka terutama berbasis pada Muhammadiyah. Sasaran utamanya adalah pelayanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan. Ia memperkenalkan ide-ide modernisasi dalam pengertian klasik. Keempat adalah islamisme atau islamis. Gerakan ini tidak hanya mengusung Arabisme dari konseruatisme tetapi  juga di dalam dirinya terdapat paradigma ideologi Islam Arab. Tidak heran jika jihad dan penerapan syari’ah Islam menjadi karakter utama dari kelompok ini.
Kelompok kelima adalah neo-modernisme Islam. Ia lebih dicirikan dengan gerakan intelektual dan kritiknya terhadap doktrin Islam yang mapan. Mereka berasal dari berbagai kelompok termasuk kalangan tradisional maupun dari kalangan modernis. Kelompok ini sangat kritis terhadap penerapan syariah Islam tanpa perubahan dan kritik terhadap doktrin terlebih dahulu, serta membela kesetaraan perempuan, pluralisme dan toleransi.
Terjadinya perbedaan dalam melihat kondisi Islam di Indonesia itu merupakan dampak dari pengembangan pemikiran khususnya dalam dinamika intelektual yang diorientasikan kepada pembangunan kebangsaan. Satu hal yang mestinya sadari bahwa semakin banyaknya organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok Islam yang muncul belakangan ini sebenarnya dapat menjadi kekayaan wacana tentang Islam di Indonesia. 
Barangkali yang jauh lebih penting adalah, bagaimana mengupayakan pembinaan kesadaran bersama, bahwa Islam ditengah-tengah kehidupan bangsa ini laksana satu panji beragam arti, dan keragaman makna sebaiknya diyakini sebagai anugerah ilahi untuk dinikmati kita bersama.
Islam modernis di Indonesia sebenarnya sudah muncul sejak awal abad ke-20.pada tahu 1906 misalnya muncul apa yang disebut kelompok muda di Sumatra Barat, tepatnya di Minangkabau. Mereka itu adalah Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rosul), Haji Abdullah Ahmad,dan Syaikh Daud Rasyidi. Kelompok ini mendapat tantangan keras dari kelompok Tua yang terdiri dari Syaikh Khatib Ali, Khatib Sayyidina, Syaikh Bayang, Syaikh Seberang, imam Masjid Ganting, dan Syaikh Abbas. Kelompok islam modernis yang terdiri dari kaum ulama dan cendekiawan terseut sering melakukan protes terhadap struktur kekuasaan adat yang tidak memberikan tempat kepada mereka.
Selanjutnya paham islam modernis dikembangkan dan dimasyarakatkan lebih sungguh sungguh oleh Harun Nasution melalui institusi Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarata, lembaga diamana yang bersangkutan sebagai dosen dan orang nomer satu, yakni sebagai Rektor dari sejak tahun 1971 sampai tahun 1985. Melalui karya-karyanya beliau berusaha menjelaskan apa yang dimaksud dengan Islam modernis, apa tujuan serta progamnya dan sebagainya. Pemikiran Harun Nasution ini banyak diikuti oleh mahasiswa IAIN Jakarta dan Perguruan Tinggi lainnya,tempat dimana ia mengabdikannya ilmunya. Alumni IAIN Jakarta seperti Fachry Ali, Komaruddin Hidayat, Atho Mudzhar, Hadi Mulyo, Mansur Faqih, Azyumari Azra, Saeful Muzani, Abudin Nata, Sudirman Teba dan lainnya adalah murid-murid beliau yang hingga kini tetap komitmen dan mensosialisasikan paham Islm modernis tersebut.[18]
Pemikiran Islam modernis lebih lanjut dikembangkan dan dimasyarakatkan dengan penuh agresivitas oleh Nurcholish Madjid melalui berbagai karyanya.[19] Dalam berbagai karyanya itu Nurcholish mengatakan bahwa bagi seorang muslim, modernisasi adalah suatu keharusan bahkan suatu kewajiban mutlak. Modernisasi adalah perintah dan ajaran Tuhan.
Ide-ide Islam modernisasi selanjutnya diperkenalkan oleh Mukti Ali, Delier Noer dan Munawir Sjadzali. Dalam bukunya yang berjudul Islam dan Sekularisme di Turki Modern, dan Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Mukti Ali menjelaskan dengan panjang lebar pemikran Islam modernis dari tokoh-tokoh Turki seperti Ziya Gokalp (lahir 1875M) dan Kemal Attaturk; dan tokoh dari India dan Pakistan seperti Sayyid Amir Ali, Abul Kalam Azad, Maulana Muhammad Ali, Iqbal, Muhammad Ali Jinnah, Liaquat Ali Khan dan Maulana Sayid Abul Ala al-Maududi. Menurut Ziya Gokalp, bahwa Islam adalah sejalan dengan peradaban modern, sekalipun banyak dari orang-orang yang sekurun zaman dengan dia mempunyai pendapat yang berbeda.[20] Menurut Kemal bahwa agama adalah suatu lembaga social. Oleh karena itu agama harus memuaskan keperluan hidup menuju kea rah proses perkembangan.[21]
Selanjutnya pemikiran Islam Modernis Deliar Noer dapat dipelajari antara lain dalam bukunya yang berjudul Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1945.Dalam buku ini Delier Noer secara mendalam memaparkan pemikiran Islam modernis yang berasal dari para tokoh Minangkabau seperti Syaikh Ahmad Khatib (lahir 1855M), Syaikh Muhammad Djamil Djambek (lahir 1860) dan Haji Abdullah Ahmad (lahir 1878M). Setelah itu diikuti dengan uraian pemikiran Islam modernis dari tokoh-tokoh Muhammadiyah (didirikan tahun 1912M). Dalam buku tersebut secara eksplisit Delier Noer tidak memperlihatkan sikapnya sebagai Islam Modernis. Namun dari kesungguhannya membahas gerakan Modern Islam di Indonesia ini selain ia ingin menunjukkan tentang eksisitensi dan peranan kaum Islam Modernis di Indonesia dalam peraturan polotik dan social, juga mengandung missi agar gerakan Islam modernis tersebut dilanjutkan oleh umat Islam lainnya.
Sementara itu pemikiran Islam Modernis dari H. Munawir Sjadzali dapat dijumpai dalam bukunya yang berjudul Islam dan Tata Negara. Dalam buku tersebut Munawir Sjadzali antara lain mengatakan bahwa dalam kitab suci umat Islam itu terdapat seperankat prinsip dan tata nilai etika bagi kehidupan bermasyarakat prinsip dan tata nilai etika bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.



Al-Quran antara lain mengajarkan prinsip tauhid, permusyawaratan dalam mencari pemecahana masalah-masalah bersama, ketaaan kepada pemimpin, persamaan, keadilan, kebebasan beragama dan sikap saling menghormati dalam hubungan antara umat-umat dari berbagai agama.

Pemikiran Islam modernis dari Munawir Sjadzali lebih lanjut dapat dilihat pada gagasannya yang berkaitan dengan hokum waris. Dalam bidang waris ini, ia mencoba ingin keluar dari ketentuan pembagian warisan yang didasarkan pada Al-Quran, dengan bernaung kepada ketentuan ayat Al-Quran lainnya. Dengan kata lain ia ingin lari dari satu ayat kemudian ayat al-quran lainnya. Dengan kata lain ia ingin lari dari satu ayat kemudian masuk atau bernaung kepada ayat lain yang juga terdapat di dalam al-quran. Contoh dalam kasus ini antara lain berkaitan dengan pembagian waris kaum wanita.[22] Dalam kodisi masyarakat yang modern, dan memungkinkan wanita dapat memproleh pendapatan yang lebih tinggi dari kaum pria, Munawir melihat bahwa pembagian tersebut terasa kurang adil. Sedangkan di dalam al-Quran banyak sekali dijumpai ayat yang menyuruh berbuat keadilan.[23]
Dengan mengemukakan uraian tersebut diatas, dapat diketahui dengan jelas bahwa Islam modernis di Indonesia benar-benar eksis dan memiliki peranan dan fungsi yang amat strategis di Indonesia. Keterlibatan mereka dapat memberikan kontribusi secara nyata dalam memecahkan berbagai masalah social, ekonomi dan politik yang dilakukan melalui organisasi, massa media dan lain sebagainya tidak dapat dibantah. Sejarah mencatat bahwa perjuangan merebut kemerdekaan dari tangan penjajah Belanda dan Jepang dimotori oleh kalangan Islam modernis. Peran dan fungsi strategus dari keompok Islam modernis ini semakin dituntut lebih besar lagi, mengingat banyak sekali masalah-masalah krusial yang mendesak untuk dicarikan pemecahannya.


BAB III
PENUTUP

3.1     Kesimpulan
Sebelum kedangan islam, Indonesia telah di warnai oleh budaya India dan budaya lokal. Masuknya budaya India yang bersifat mistik ke wilayah nusantara melalui agama Hindu dan Budha. Ada 4 teori tentang islamisasi awal di Indonesia. Yaitu islam yang bersumber dari Anak Benua India(teori India),teori Arab, teori Persia, teori Cina. Islam di Indonesia dilakukan dengan cara damai atau tanpa ada penumpahan darah. Masuknya Islam di Indonesia dilakukan enam saluran yaitu, saluran perdagangan, pernikahan, tasawuf, pendidikan, kesenian dan politik.
Kerajaan Islam di Indonesia terbagi di wilayah Sumatra yaitu Kerajaan Perlak, Samudra Pasai, Kerajaan Malaka, Kerajaan Aceh Darussalam. Di wilayah Jawa meliputi Kerajaan Demak, Kerajaan Pajang, Kerajaan Mataram, Cirebon, Banten, dan Madura.
Islam modernis di Indonesia benar-benar eksis dan memiliki peranan dan fungsiyang amat strategis di Indonesia. Keterlibatan para penulis yang mengantarkan Islam secara modern dapat memberikan kontribusi secara nyata dalam memecahkan berbagai masalah social, ekonomi dan politik yang dilakukan melalui organisasi, massa media dan lain sebagainya tidak dapat dibantah. Sejarah mencatat bahwa perjuangan merebut kemerdekaan dari tangan penjajah Belanda dan Jepang dimotori oleh kalangan Islam modernis. Peran dan fungsi strategus dari keompok Islam modernis semakin dituntut lebih besar lagi, mengingat banyak sekali masalah-masalah krusial yang mendesak untuk dicarikan pemecahannya.


DAFTAR PUSTAKA

Nur Muhammad Hakim,2004, Sejarah dan Peradaban Islam,  Malang: Universitas Muhammadiyah.
NN, 2006, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia,Jogjakarta: Penerbit Pustaka (Kelompok Penerbit Pinus).
Madjid Nurcholish, 1971,Nilai-nilai Dasar Perjuangan,  PB HMI
Natta Abuddin,2001, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Gravindo Persada.





[1] Muhammad Nur Hakim,Sejarah dan Peradaban Islam,(Malang: Universitas Muhammadiyah, 2004), 175
[2]NN, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia,  (Jogjakarta: Penerbit Pustaka, 2006),33
[3]NN, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia,  (Jogjakarta: Penerbit Pustaka, 2006), 35
[4]NN, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia,  (Jogjakarta: Penerbit Pustaka, 2006), 37
[5]NN, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia,  (Jogjakarta: Penerbit Pustaka, 2006), 37
[6]NN, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia,  (Jogjakarta: Penerbit Pustaka, 2006), 38
[7]NN, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia,  (Jogjakarta: Penerbit Pustaka, 2006), 40
[8]NN, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia,  (Jogjakarta: Penerbit Pustaka, 2006), 40
 [9] NN, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia,  (Jogjakarta: Penerbit Pustaka, 2006), 41
[10]NN, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia,  (Jogjakarta: Penerbit Pustaka, 2006), 41
[11]NN, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia,  (Jogjakarta: Penerbit Pustaka, 2006), 42
[12]NN, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia,  (Jogjakarta: Penerbit Pustaka, 2006),42
[13]NN, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia,  (Jogjakarta: Penerbit Pustaka, 2006), 77
[14]NN, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia,  (Jogjakarta: Penerbit Pustaka, 2006), 77
[15] NN, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia,  (Jogjakarta: Penerbit Pustaka, 2006), 81
[16]NN, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia,  (Jogjakarta: Penerbit Pustaka, 2006),88
[17] Abdurrahman, 93
[18] Islam di Indonesia.htm (online)
[19] Nurcholish Majid, Nilai-nilai Dasar Perjuangan, 1971, PB HMI
[20] Nurcholish Majid, Nilai-nilai Dasar Perjuangan, 1971, PB HMI
[21] Natta Abuddin, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Gravindo Persada, 2001), 165
[22] QS. Al-Nisa, 4: 11

[23] QS. Al-Nahl, 16:90

No comments:

Post a Comment