BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Penduduk
kepulauan Indonesia sejak zaman pra sejarah dikenal sebagai pelayar-pelayar
yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal masehi sudah ada rute-rute
pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di
daratan Asia Tenggara. Wilayah Barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa
kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, karena hasil bumi yang
dijual disana menarik bagi para pedagang dan menjadi daerah lintasan penting
antara Cina dan India. Sementara itu, pala dan cengkeh yang berasal dari Maluku
dipasarkan di Jawa dan Sumatera untuk kemudian di jual kepada para pedagang
asing. Pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatera dan Jawa antara abad ke-1 dan
ke-7 M sering disinggahi para pedagang asing seperti Lamuri(Aceh), Barus dan
Palembang di Sumatera, Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa.
Bersamaan
dengan itu, datang pula para pedagang yang berasal dari Timur Tengah. Mereka
tidak hanya membeli dan menjajakan barang dagangan, tetapi ada juga yang
berupaya menyebarkan agama Islam. Dengan demikian, agama Islam telah ada di
Indonesia ini bersamaan dengan kedatangan para pedagang Arab tersebut. Meskipun
belum tersebar secara intensif ke seluruh wilayah Indonesia.
Pengaruh
adanya perdagangan lintas Negara tersebut sangat mempengaruhi pola pikir
masyarakat Nusantara mulai dari pendidikan, pola hidup, dan adat istiadat.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1
Bagaimana Kedatangan Islam di Indonesia ?
1.2.2
Apa saja Kerajaan Islam di Nusantara?
1.2.3
Bagaimana Islam di Indonesia pada zaman Modern?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Kedatangan
Islam di Indonesia
Secara
geografis letak Indonesia jauh dari pusat Islam di Timur Tengah. Hal ini
kemudian dapat menimbulkan beberapa kemungkinan antara lain, tidak melibatkanfath/opening
(ekspansi militer) seperti halnya daerah-daerah Islam lainnya di Timur
Tengah, benua India sampai ke Eropa. Implikasinya adalah tidak pernah terjadi
perubahan yang secara drastis terhadap tradisi setempat untuk berganti dengan
tradisi yang dibawa dari luar. Kemungkinan yang kedua adalah Indonesia memiliki
proses arabiasi yang minimal (kurang terjadi arabiasi atau
disarabisasi). Tradisi-tradisi arab sedikit sekali berkembang di Indonesia. Hal
ini kemudian menimbulkan penilaian bahwa Islam Indonesia tidak sama dengan
Islam yang terdapat di Timur Tengah atau paling tidak Islam Indonesia tidak terjamin
kemurniannya sebab faktor geografis serta interval waktu antara munculnya Islam
di dunia (abad ke-6 Masehi) dengan berkembangnya Islam di Indonesia yang secara
massif baru pada abad 12 atau 13 Masehi.[1]
Menurut
pendapat banyak peneliti masyarakatdi Indonesia seperti J. Benda dan Clifford
Geertz, bahwa sebelum kedatangan islam, Indonesia telah di warnai oleh budaya
India dan budaya lokal. Masuknya budaya India yang bersifat mistik ke wilayah Nusantara
melalui agama Hindu dan Budha. Sedangkan budaya lokal yang menonjol saat itu
adalah budaya agraris. Integrasi budaya tersebut pada gilirannya membentuksuatu
corak budaya baru yang singkretis yaitu perpaduan antara unsur agama
Hindu,Budha, dan ajaran-ajaran nenek moyang.[2]
Sejak awal
masehi Indonesia merupakan Negara yang sering dilewati oleh pedagang-pedagang
asing baik itu dari India, Cina atau Timur Tengah. Contohnya seperti di Malaka
dan wilayah barat Nusantara. Pada masa kuno wilayah ini menjadi titik perhatian
para pedagang asing dan juga menjadi lintasan penting antara India dan Cina.
Pedagang muslim asal Arab Persia dan India juga ada yang sampai ke Kepulauan
Indonesia untuk berdagang. Sejak abad ke-7 M atau abad ke-1 Hijriah ketika
Islam pertama kali berkembang di Timur Tengah. Diperkirakan sejak abad ini
pribumi Indonesia sebagian diantaranya ada yang masuk Islam. Hanya saja menurut
Mohammad Nur Hakim dalam Taufik Abdullah mengatakan bahwa belum ada bukti
pribumi Indonesia yang disinggahi oleh pedagang muslim itu beragama Islam. Baru
pada zaman-zaman berikutnya penduduk kepulauan ini masuk Islam bermula dari
penduduk pribumi dikoloni-koloni
pedagang Islam itu. Menjelang abad ke-13 M, masyarakat muslim sudah ada
di Samudera Pasai, Perlak dan Palembang. Dari sinilah akhirnya Islam bisa
berkembang ke daerah-daerah yang lainnya berkembang ke Pulau Jawa dan lainnya
sampai sekarang. Masuknya Islam di Indonesia tentunya melalui tahapan-tahapan
dan dengan adanya metode-metode yang diterapkan sehingga mampu untuk
mengislamkan kepulauan Indonesia.
Teori
tentang masuknya Islam di Indonesia
Mengenai asal,
tokoh pembawa, waktu dan tempat islamisasi pertama kali di Indonesia masih
merupakan masalah yang kontroversal. Hal ini disebabkan kurangnya data yang
dapat digunakan untuk merekontruksi sejarah yang valid, juga adanya
perbedaan-perbedaan tentang apa yang dimaksud dengan “Islam”. Sebagian sarjana
dan peneliti memberikan pengertian Islam dengan kriteria formal yang sangat
sederhana seperti pengucapan kalimat syahadat atau pemakaian nama Islam.
Sebagian yang lain mendefinisikan Islam secara sosiologis, yakni masyarakat itu
dikatakan telah Islam, jika prinsip-prinsip Islam telah berfungsi secara aktual
dalam lembaga sosial, budaya dan politik. Jadi, mereka menganggap bacaan
kalimat syahadat tidak dapat dijadikan bukti adanya penetrasi Islam dalam suatu
masyarakat. [3]
Setidak -
tidaknya ada 4 teori tentang islamisasi awal di Indonesia. Yaitu islam yang
bersumber dari Anak Benua India(teori India),teori Arab, teori Persia, teori
Cina.
1.
Teori india
(Gujarat)
Teori ini di kemukakan oleh Pijnappel Snouck
Hurgronje, Moquette, dan Fatimi. Dalam teori ini dijelaskan bahwa Islam pertama
kali datang ke Indonesia berasal dari anak Benua India sekitar abad ke-13.
Pijnappel mengajukan bukti adanya persamaan
mazhab Syafi’iantara Anak Benua India
dengan Indonesia. Orang-orang Arabyang bermazhab Syafi’i bermigrasi dan
menetap di Gujarat dan Malabar kemudian membawa islam ke Nusantara. Jadi ia
bependapat bahwa islamisasi di Nusantara dilakukan oleh orang Arab tetapi bukan
datang langsung dari Arab,melainkan dari India, terutama dari Gujarat dan
Malabar.
Snouck Hurgronje berpendapat bahwa saat islam
mempunyai pengaruh yang kuat di kota-kota India selatan, banyak muslim Dhaka di
sana. Mereka inilah yang pertama menyebarkan agama islam ke kepulauan Melayu,
kemudian di ikuti oleh orang-orang Arab. Ia menyatakan bahwa islam bukan
berasal dari Arab tetapi berasal dari India, karena sudah lama terjalin
hubungan perdagangan antara Indonesia dengan India dan adanya inskripsi tertua
tentang Islam yang terdapat di Sumatra
mengindikasikan adanya hubungan antara Sumatra dan Gujarat.
Snouck Hurgronje menyebutkan bahwa Sumatra
Utara, yaitu mengenai Pasai dijumpai dalam kisah perjalanan Ibnu Battuta,
musafir Maroko yang singgah di daerah itu pada tahun 1345 M dalam
perjalanannya dari Banggala ke Tiongkok,
merupakan tempat yang penting bagi rekontruksi perkembangan Islam di kepulauan
itu. Sebagaimana dalam catatan ibnu Battuta, Snouck Hurgronje menyebutkan
adanya tiga batu nisan muslim dari paruh pertama abad ke-15 M yang ditemukan di
distrik Pasai. Di antara batu nisan itu
ada tulisan tentang kematian seorang “pangeran Abbasiah”. Pangeran itu
mendapatkan tempat yang mulia yang
terakhir di Sumatra Utara pada tahun 1407 M. ia terdampar di Delhi dan atas
tanggungan Maha raja Hindustan ayahnya menetap di sana dalam waktu yang lama.
Snouck Hurgronje juga menyebutkan ketiga batu nisan itu mempunyai persamaan
dengan batu nisan Maulana Malik Ibrahim di Gresik yang meninggal pada tahun
1419M.
Mosquette berpendapat ada persamaan antara gaya
batu nisan yang ada di Pasai, Sumatra Utara, khususnya yang bertanggal 17
Dzulhijjah 831 H/ 27 September 1428 M dan di Gresik, yakni makam Makam Maulana
Malik Ibrahim (822 H/1449 M) dengan batu nisan yang ada di Cambay, Gujarat.
Batu-batu nisan itu semuanya berasal dari abad ke-15 M dan sesudahnya. Jadi ada
hubungan antara Indonesia dengan Gujarat pada periode tertentu. Mengenai
batu-batu nisan yang ditemukan di distrik Pasai sebelum abad ke-15,seperti batu
nisan Malik Al-Shalih (1297 M) di pandang oleh Moquette bentuknya berbeda
dengan yang ada Cambay, meskipun batu nisan itu berasal dari India dan
diletakkan di makam itu beberapa waktu setelah meninggalnya raja itu.
Pendapat Moquette dibantah oleh Fatimi dengan
mengajukan argumentasi bahwa batu nisan yang ada di Makam Malik Al-Shalih di
Samudra Pasai ada persamaannya dengan yang ada di Bengal (sekarang Bangladesh),
sedangkan batu nisan Malik Al- Shalih coraknya sangat berbeda dengan batu nisan
yang ada di Gujarat dan prototipe Indonesianya. Fatimi mengatakan bahwa
sebagian besar orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau
keturunannya. Islam pertama kali muncul di Semenanjung Malaya dari arah pantai
timur, bukan dari arah barat(Malaka), pada abad ke-11 , melalui Kanton
,Phanrang (Vietnam), Leran dan Trengganu. Ia berpendapat bahwa Islam ada di
Semenanjung lebih mirip dengan Islam di Phanrang dan elemen-elemen prasasti
Trengganu juga lebih mirip dengan prasasti yang di temukan di Leran. Tapi
meskipun demikian pendapat Moquette banyak di dukung oleh peneliti-peneliti
lain.
2.
Teori Arab (Makkah)
Teori ini
antara lain di kemukakan oleh Sir Thomas Arnold, Niemann, dan de Hollader.
Arnold berpendapat bahwa selain dari Coromandel dan Malabar Islam Nusantara
juga berasal dari Arab. Bukti yang dia
ajukan ialah adanya kesamaan mazhab antara di Coromandel dan Malabar dengan
mazhab mayoritas umat Islam di Nusantara. Mereka mempunyai peranan penting
dalam perdagangan antara India dan Nusantara. Di samping juga melakukan
kegiatan perdagangan, mereka juga menyebarkan islam.
Mengenai
pendapat Arnold tentang asal Islam Nusantara dari Arab, ia berpendapat bahwa
para pedagang Arab membawa Islam saat mereka menguasai perdagangan Barat-Timur
sejak awal abad ke-7 M dan ke-8 M. Dapat diduga bahwa mereka juga menyebarkan
agama Islam ke Nusantara. Ia juga mengatakan bahwa sebuah sumber Cina
mengatakan bahwa menjelang seperempat ketiga abad ke-7 M ada seorang Arab
yang menjadi pemimpin pemukiman Arab
muslim dipesisir barat Sumatra. Mereka ini juga melakukan kawin campur dengan
penduduk setempat, sehingga muncullah komunitas muslim.
Niemann dan de
Hollader mengatakan bahwa Islam datang dari Hadramaut, karena ada persamaan
antara mazhab yang dianut oleh muslim Hadramaut dengan muslim Nusantara, yaitu
mazhab Syafi’i.
Sejumlah ahli
Indonesia sepakat dengan teori ini, mereka memberi alasan bahwa mazhab Syafi’i
di Mekah mendapat pengaruh yang luas di Indonesia. Mereka juga berpendapat bahwa pada tahun 674
M telah terdapat perkampungan Arab Islam di pantai barat Sumatra dan telah
terjadi hubungan Indonesia – Arab jauh sebelum abad ke-13 M pembawa agama Islam
itu adalah para saudagar Arab. Mereka mengatakan bahwa Islam datang ke
Indonesia pada abad ke-7M langsung dari Arab. Menurut Azyumardi Azra ada empat
hal yang disampaikan oleh historiografi tradisional berkaitan dengan islami
Nusantara. Pertama, Islam Nusantara berasal dari Arab. Kedua, Islam dibawa oleh
juru dakwah yang professional. Ketiga, yang pertama kali masuk islam adalah
berasal dari kalangan penguasa. Keempat, sebagian besar juru dakwah itu datang
ke Nusantara pada abad Ke-12 M dank e-13M. memang sejak abad pertama Hijriyah
sudah ada orang Islam di Nusantara tetapi baru abad ke-12M sampai abad ke-16M pengaruh islam di
Nusantara tampak lebih jelas dan kuat.
3.
Teori Persia
Teori ini
dikemukakan oleh P.A Oesein Djajadiningrat. Dalam teori ini bahwa Islam masuk
ke Nusantara pada abad ke-13 M di Sumatra, yang berpusat di Samudra Pasai. Dia
mendasarkan argumennya pada persamaan budaya yang berkembang dikalangan
masyarakat Islam Indonesia dengan budaya yang ada di Persia.
Bukti-bukti
persamaan budaya itu antara lain :
a. Adanya peringatan
10 Muharram atau Assyura yang merupakan tradisi yang berkembang dalam masyarakat
Syi’ah untuk memperingati hari kematian Husain dan Karbela. Tradisi ini
diperingati dengan membuat bubur Syuro. Bulan Muharram di Minangkabau disebut
dengan bulan Hasan Husain, sedangkan di Sumatra Tengah sebelah barat disebut
Bulan Tabut. Masyarakat Sumatra Tengah sebelah barat ini dalam memperingati
Bulan Tabut mereka mengarak keranda diatas namakan Keranda Husain yang disebut
dengan “Keranda Tabut” untuk dilemar ke
sungai.
b. Adanya
persamaan antara ajaran al-Hallaj, tokoh Sufi Iran dengan ajaran Syeh Siti
Jenar.
c. Persamaan dalam
system mengeja huruf arab bagi pengajian Al Qur’an tingkat awal.
Bahasa Iran Bahasa
Arab
Jabar – Zabar Fathah
Jer – Ze er Kasrah
P’es- Py’es Dhammah
Disamping itu, mengenai huruf sin yang tak bergigi berasal dari
Persia sedangkan yang bergigi berasal dari arab.
d. Adanya
persamaan batu nisan yang ada di makam Malik Al Shaleh (1297 M) di Pasai dengan
makam Malik Ibrahim (1419 M) di Gresik yang dipesan dari Gujarat. Dalam hal ini
Hoesein Djajadiningrat berpendpat bahwa` Gujarat merupakan daerah yang mendapat
pengaruh dari Persia yang menganut paham Syi’ah dan dari sinilah Syi’ah dibawa
di Indonesia.
Meskipun demikian , teori Persia ini juga memandang adanya pengaruh
Madzhab Syafi’I di Indonesia yang berasal dari Malabar, yang merupakan mazhab
paling utama di daerah itu.
4.
Teori Cina
Teori ini
menyatakan bahwa Islam datang ke Nusantara bukan dari Timur Tengah/ Arab maupun
Gujarat/ India, tetapi dari Cina. Pada abad ke-9 M banyak orang muslim Cina di
Kanton dan wilayah Cina selatan lain yang mengungsi ke Jawa, sebagian ke Kedah
dan Sumatra. Hal ini terjadi karena pada masa Huan Chou terjadi penumpasan
terhadap penduduk Kanton dan wilayah Cina selatan lainnya yang mayoritas
penduduknya beragama Islam.
Disamping
adanya pengungsi Cina ke Jawa pada abad ke-9 M, pada abad ke8-11 M sudah ada
pemukiman Arab muslim di Cina dan di Campa. Memang sudah terjadi hubungan
perdagangan yang cukup lama antara orang-orang Cina dengan orang-orang Jawa.[4]
Cina mempunyai
peranan yang besar dalam perkembangan Islam di Indonesia. Disamping bukti-bukti
diatas, arsitektur masjid Demak dan juga berdasarkan catatan sejarah beberapa
sultan dan sunan yang berperan dalam penyiaran agama Islam di Indonesia adalah
keturunan Cina, misalnya Raden Patah yang mempunyai nama Cina Jin Bun, Sunan
Ampel dan lain-lain.[5]
Islam di
Indonesia dilakukan dengan cara damai atau tanpa ada penumpahan darah. Menurut Uka
Tjandrasasmita[6]
masuknya Islam di Indonesia dilakukan enam saluran yaitu:
1.
Saluran Perdagangan
Masuknya
pedagang-pedagang asing dikepulauan Indonesia seperti Arab. Cina, Persia dan
India merupakan awal mula masuknya islam di Indonesia yaitu bermula dari
bermukimnya para pedagang asing di pesisir jawa yang penduduknya masih kafir.
Hingga akhirnya mereka mampu mendirikan masjid-masjid dan pemukiman muslim.
2.
Saluran pernikahan
Dilihat
dari sudut ekonomi para pedagang muslim memiliki status sosial lebih baik dari
pada pribumi Indonesia sendiri, sehingga tidak sedikit penduduk pribumi yang
tertarik dengan para pedagang muslim tersebut khususnya putra-putri raja dan
bangsawan. Proses islamisasi ini dilakukan sebelum adanya pernikahan yang
kemudian dilanjutkan dengan proses pernikahan sampai pada akhirnya mereka
mempunyai keturunan dan mampu membuat daerah-daerah atau bahkan
kerajaan-kerajaan Islam. Jalur pernikahan ini lebih menguntungkan apabila
terjadi antara saudagar muslim dengan anak bangsawan atau anak raja dan
adipati, karena bangsawan, raja, dan adipati dapat mempercepat proses masuknya
Islam di Indonesia.
Demikianlah
yang terjadi antara Raden Rahmad atau Sunan Ampel dengan Nyai Manila. Sunan
Gunung Jati dengan Putri Ngaunganten. Brawijaya dengan Putri Campa yang
menurunksn Raden Fatah (raja pertama Demak).
3.
Saluran Tasawuf
Pengajar-pengajar
tasawuf atau para sufi, mengajarkan
teosofi yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat
Indonesia. Mereka mempunyai kemampuan dan kekuatan-kekuatan menyembuhkan.
Diantara mereka juga ada yang mengawini putra-putri bangsawan setempat dengan
ilmu tasawufnya. Mereka mengajarkan Islam kepada pribumi yang mempunyai persamaan
dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama hindu, sehingga agama
baru itu mudah dimengerti dan diterima. Diantara ahli-ahli tasawuf yang
memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan alam pikiran Indonesia pra
Islam itu adalah Hamzah Fansuri di Aceh, Syeh Lemah Abang, dan Sunan Panggung
di Jawa. Ajaran mistik seperti ini masih berkembang di Indonesia di abad ke-19
M bahkan di abad ke-20 M ini.
4.
Saluran Pendidikan
Islamisasi
juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang
diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai, dan ulama-ulama. Di pesantren
atau pondok itu, calon ulama, guru agama, dan kiai mendapat pendidikan agama.
Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang kekampung masing-masing kemudian
mereka berdakwah ketempat tertentu mengajarkan Islam. Misalnya, pesantern yang
didirikan oleh Raden Rahmat di Sunan Denta Surabaya Sunan Giri di Giri.
Keluaran pesantren Giri ini banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajarkan
agama Islam.
5.
Saluran Kesenian
Saluran
Islamisasi melalui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang.
Dikatan, Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan
wayang. Dia tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia meminta para
penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian besar cerita
wayang masih dipetik dari cerita Mahabrata dan Ramayana, tetapi di dalam cerita
itu disisipkan ajaran dan nama-nama pahlawan Islam. Kesenian-kesenian lain juga
dijadikan alat Islamisasi, sperti sastra (hikayat, babad, dan sebagainya), seni
bangunan dan seni ukir.
6.
Saluran Politik
Di
Maluku dan Sulawesi Selatan, kebanyakan rakyat masuk Islam setelah rajanya
memeluk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu
tersebarnya Islam didaerah ini. Disamping itu, baik di Sumatera dan Jawa maupun
di Indonesia bagian timur, demi kepentingan politik, kerajaan-kerajaan Islam
memerangi kerajaan-kerajaan non-Islam. Kemenangan kerajaan Islam secara politis
banyak menarik penduduk kerajaan bukan Islam itu masuk Islam.
2.2.Kerajaan Islam di Nusantara
2.2.1
Kerajaan Islam
di Sumatra
Adanya
berita dari Marcopolo yang mengatakan ketika ia mengunjungi Sumatra penduduk
Sumatra Utara beragama Hindu kecuali Ferlec yang sudah beragama Islam
dan adanya batu nisan kubur di Aceh dengan nama Sultan Al-Malik Al Saleh yang
berangka tahun wafat 1297 M menandakan bahwa Islam sudah tumbuh dan berkembang
di wilayah Sumatra.
Untuk
mengetahui sejarah dari kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra juga diperlukan
pengetahuan tentang kekuasaan-kekuasaan yang ada pada sebelumnya. Sebelum
berdirinya kerajaan Islam di Sumatra, pemegang emporium atas pelayaran dan
perdagangan dari Barat ke Cina atau sebaliknya adalah kerajaan Sriwijaya.[7]
Setelah beberrapa abad lamanya memegang kekuasaan pelayaran an perdagangan
datang masa kemerosotan dan kemundurannya pada abad ke-11 sampai abad ke-13.
Hal ini disebabkan antara lain, serangan dari Cola sekitar tahun 1025 M an
kekalahan atas kekuasaan di Jawa Timur pada abad ke-13. Dengan mundur dan
merosotnya kerajaan Sriwijaya sebagai pusat perdagangan pemerintahan Sriwijya
dipindahkan dari Palembang ke Jambi dan kedudukannya digantikan oleh Bajak
Laut. Pusat perdagangan pun mulai terpencar diantaranya di Pidie dn Samudra
Pasai
2.2.2.1
Kerajaan Perlak
Peureulak adalah nama suatu derah di wilayah
Aceh Timur yang banyak ditumbuhi Kayei Peureulak atau Kayu Perlak, kayu ini
sangat bagus sebagai bahan pembuatan kapal sehingga banyak orang luar datang
membeli kayu tersebut. Mereka menyebut daerah tempat pembelian dengan nama kayu
yang dihasilkannya sehingga terkenal dengan nama sebutan Negeri Perlak.
Adapun para
sultan yang memimpin kerajan Perlak adalah setelah Sultan Alaiddin Syed Maulana
Abdul Aziz Shah (225-249 H=840-864 M) Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Rohim
Shah (249-285 H=864-888 M) Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (285-300
H=888-913 M) Masa pemerintahan ketiga sultan ini disebut sebagai pemerintahan
dinasti Syed Maulana Abdul Aziz Shah.[8]
Pada tahun 302-305 H=915-918 M
naiklah Syed Maulana Ali Mughayat Shah sebagai sultan, setelah kurang dari 3
tahun. Pada akhir masa pemerintahannya ada pergolakan antara dua golongan.
Kemenagan ada dipihal Ahlus Sunnah wal Jama’ah sehingga sultan yang diangkat
untuk memerintah Perlak diambil dari golongannya yaitu dari keturunan Meurah
Perlak asli (Syahir Nuwi)
Adapun urutan sultan yang memerintah adalah
sebagai berikut:
1.
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Shah
Johan Berdaulat (306-310 H=928-932 M)
2.
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin
Shah Johan Berdaulat (310-334 H=932-956 M)
3.
Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan
Berdaulat (334-362 H=956-983 M)
2.2.2.2
Samudra Pasai
Samudra Pasai
disebut sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia, keberadaan kerajaan Islam
ini didukung oleh adanya bukti batu nisan kubur yang menunjukkan raja pertama
Al Malik Al Saleh yang wafat pada bulan Ramadhan 696 H atau sekitar 1297 M. Ia
juga merupakan pendiri Kerajaan Samudra Pasai, hal ini diketahui dari tradisi
hikayat raja-raja Pasai, sejarah Melayu dan hasil penelitian yang dilakukan
oleh sarjana Barat.
Ada satu sumber lain yang mengatakan
tentang berdirinya kerajaan Samudra Pasai sejak tahun 443 H atau 1024 M
sedangkan pemdrinya adalah Meurah Khair yang setelah menjadi raja bergelah
Maharaja Mahmud Shah. Ia memerintah sampai tahun 470 H atau 1078 M. Setelah itu
pemerintahan dipegang oleh
1.
Maharaja Mansur Syah (470-527 H/ 1078-1133M)
2.
Maharaja Ghiyasyuddin Syah(cucu Meurah Khair)(527-550
H/1133-1155 M)
3.
Maharaja Nurudin (Meurah Noe) atau Tengku
Samudra atau Sultan Al Kamil (550-607 H/1155-1210 M)[9]
2.2.2.3
Kerajaan Malaka
Hubungan
pelayaran dan perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang muslim melalui Selat
Malaka semakin lama semakin kuat sampai pada masa awal abad ke-13 M sehingga
terbentuklah perkampungan Islam di Pesisir Samudra. Akibat hubungan itu Selat
Malaka dengan Samudra Pasai menjadi suatu tempat persinggahan para pedagang.
Maka sampailah Islam ke bagian Semenanjung Melayu yaitu ke Treangganu dan ini merupakan
bukti nyata yang tidak dapat dipungkiri lagi tentang kedatangan dan tumbuhnya
masyarakat Islam di daerah tersebut.[10]
Pada abad ke-15 Malaka menjadi
emporium yang sangat penting di Asia Tenggara. Malaka menjadi kota
Metropolitan, sebuah Bandar yang makmur dan temat berbaurnya berbagai bangsa
dan kebudayaan yang beragam pula. Pendirinya adalah Para weswara yang setelah
memeluk Islam setelah berumur 72 Tahun bergelar Megat Iskandar Syah wafat tahun
1424 M.[11]Penggantinya
adalah Sultan Muhammad Syah (1414-1444 M).
2.2.2.4
Kerajaan Aceh
Darussalam
Menurut Annas
Machmud kerajaan Aceh berdiri paa abad ke-15 M diatas puing-puing Kerajaan
Lamuri. Pendirinya adalah Muzaffar Syah (1465-1497 M).[12] Dialah yang membangun Kota ceh Darussalam
yang pada waktu itu mulai mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan walaupun
pada saat itu, dapat dikatkan bahwa Banda Aceh sebagai Bandar Niaga tidak
terlalu ideal untuk plbuhn kpal-kapal besar karena ombak besar Sampudra Hindia.
Akan tetapi, setelah Malaka jatuh ketangan Portugis 1511 M para pedagang muslim
lebih memilih Bandar Aceh daripada Malaka dengan raainya Bandar (banyak
didatangi pedagang) maka kesultanan Aceh banyak mendapat keuntungan)
2.2.2
Kerajaan Islam
di Jawa
2.2.2.1
Kerajaan Demak
(1500-1550)
Menurut tradisi yang tercantum dalam
histografi tradisional jawa, pendiri kerajaan Demak adalah Raden Patah dia
adalah seorang putra raja Majapahit dari istri cina yang dihadiahkan kepada
raja Palembang.[13]
Graaf menyatakan bahwa asal usul raja Demak dari keturunan Cina dapat dipercaya
bahkan dia sudah menganut Islam ketika ia menetap disana. Konon ia berasal dari
Gresik (Jawa Timur) dam menjabat sebagai Pati. Dia hidup di Demak pada
seperempat terahir abad ke-15 M.[14]
2.2.2.2
Kerajaan Pajang
(1568 – 1618)
Pengesahan Joko Tingkir sebagai raja
pertama Pajang disahkan oleh Sunan Giri (salah seorang Wali Songo) dan segera
mendapatkan pengakuan dari adipati- adipati di seluruh Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Sedangkan Demak hanya sebagai kadipaten yang dipimpin oleh seorang
adipati, Arya Pangiri. Dia adalah anak seorang Prawoto yang diangkat oleh
Sultan Pajang.[15]Menjelang
keruntuhan pemerintah Pajang, orang orang Mataram sudah memainkan peran panting
disana. Peran tersebut diawali tatkala senopati anak Kiai Ageng Pamanahan
(teman Adiwijaya) yang dapat membunuh Arya Panangsang mendapat gelar
“Panembahan” (bupati) Mataram. Setelah Arya Panangsang meninggal pada tahun
1558, orang orang Sela menerima darah Pati dan daerah Mataram sebagai hadiah
bagi jasa yang telah mereka berikan. Dari peristiwa itu pula di Pajang muncul
nama Kiai Ageng Pamanahan dan Senopati seperti yang disebut di atas. Dan juga
Kiai Ageng menjadi perintis Kerajaan Mataram dan dia juga dalam waktu singkat menjadikan
daerah menjadi semakin maju. Selanjutnya 1586 dia mengangkat dirinya sebagai
Raja Mataram. Tatkala menjadi raja Senopati menguasai Mataram, Kedu, dan Banyu
Mas sedngkan Pajang sendiri dan daerah
daerah yang menjadi kekuasaannya serta Demak belum mau tunduk, bahkan wilayah
pesisir menentangnya namun tatkala dia meninggal, Jwa Tengah dan sebagian Jawa
Timur sudah dapat ditaklukkan.
2.2.2.3
Kerajaan
Cirebon
Menurut tradisi seperti yang tertera
dalam historiografi traisional, pendiri kerajaan Cirebon adalah Sunan Gunung
Jati. Ia bernama Nurullah. Kemudian terkenal dengan sebutan Syeh Maulana.
Penulis-penulis Portugis mengalnya dengan sebutan Falatehan. Adapun Hamka
menyebut Falatehan dengan Fatahillah. Nama tersebut merupakan penghargaan
tertinggi dari Sultan Trenggana karena dia dapat menklukkan Banten, sedangkan
nama sebelumnya adalah Syarif Hidayatullah.[16]
2.2.2.4
Kerajaan Banten
Sejak sebelum zaman Islam, dibawah
kekuasaan Raja Sunda, Banten sudah
menjadi kota ynga tak berarti. Pada tahun 1524 atau 1525 Nurullah dari Pasai,
yang kelak menjadi Sunan Gunung Jati, telah berlayar dari Demak Ke Banten untuk
meletakkan dasar bagi pengembangan agama Islam dan perdagangan orang Islam. Menurut
cerita Jawa Banten setelah sampai di Banten dia berhasil menyigkirkan bupati
Sunda dengan bantuan untuk mengambil kekuasaannya disitu. Kira kira tahun 1527
dibawah pimpinan Hasanuddin- tokoh ke-2 setelah dianggap sebagai pendiri
Banten- menduduki kota pelabuhan Sunda Kelapa. Sementara itu Hasanuddin semakin
berkuasadan tidak menghiraukan Demak yang sekitar rahun 1550 kacau. Pada tahun
1568, dia memutuskan hubungan dengan Demak dan menyatakan dirinya raja pertma
di banten untuk itu ia menyatakan dirinya sebagai raja pertama di Banten dan
meluaskan wilayahnya sampai ke Lampung.
2.2.2.5
Kerajaan Islam
di Madura
Tatlkala Sultan Agung berkuasa, pada
thaun 1624 Madura dapat ditaklukkan. Satu satunya keturunan raja Madura yang
hidup adalah Raden Praseno keudian ia membawa ke Mataram. Setelah dewasa dia
ikawinkan dengan adik Sultan Agung. Selanjutnya, pulau Madura dipercayakan
kepada Raden Praseno dan diberi gelar Pangeran Cakraningrat I (1624-1648). Akan
tetapi dia lbih banyak berada di Mataram dari pada di Madura namun,
pemerintahannya terus berjalan. Pusat pemerintahannya di Sampang Madura Barat
sebagai pengganti Aros Baya.[17]
2.3
Islam modernis
di indonesia
2.3.1
Gerakan
Modern Islam (Asal Usul dan Perkembangan)
Pembaruan dalam Islam atau gerakan modern Islam
merupakan jawaban yang ditujukan terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada
masanya. Kemunduran progresif kerajaan Usmani yang merupakan pemangku khilafah
Islam, setelah abad ketujuh belas, telah melahirkan kebangkitan Islam di
kalangan warga Arab di pinggiran imperium itu, yang terpenting puritanis
(salafiyyah). Gerakan ini merupakan sarana yang menyiapkan jembatan ke arah
pembaruan Islam abad ke 20 yang lebih bersifat intelektual.
Katalisator terkenal gerakan pembaruan ini
adalah Jamaluddin Al Afghani (1897). Ia mengajarkan solidaritas PAN Islam dan
pertahanan terhadap imperialisme Eropa, dengan kembali kepada Islam dalam
suasana secara ilmiah di modernisasi. Gerakan ini telah memberikan pengaruh
besar kepada gerakan kebangkitan Islam di Indonesia.
Memasuki abad ke -20 dinamika Islam di
Indonesia ditandai dengan muncul dan berkembangnya corak baru wacana dan
pemikiran Islam yang biasa disebut banyak ahli sebagai modernisme Islam.
Kemunculan corak baru wacana Islam ini tidak terlepas dari perkembangan al
Afghani, Muhammad Abdul, Rasyid Ridha dan lain-lain. Pemikiran yang
dikembangkan para tokoh-tokoh ini telah memberikan stimulus global bagi
kemunculan gerakan modernisme Islam di berbagai kawasan dunia Islam termasuk
Indonesia.
Bermula dari pembaruan pemikiran dan pendidikan
Islam di Minang Kabau, yang disusul oleh pembaruan pendidikan yang dilakukan
oleh masyarakat Arab di Indonesia, kebangkitan Islam semakin berkembang
membentuk organisasi-organisasi sosial keagamaan seperti serikat dagang Islam
(SDI) di Bogor (1909) dan Solo (1911), Perserikatan Ulama di Majalengka, Jawa
Barat dan Solo (1911), Muhammadiyah di Yogyakarta (1912), Persatuan Islam
(Persis) di Bandung (1920-an), Nadlatul Ulama (NU) di Surabaya (1926), dan
Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Bandung, Bukittinggi (1930); dan
Partai-partai politik, seperti serikat Islam (SI) yang merupakan kelanjutan
dari SDI, persatuan Muslimin Indonesia (Permi) di Padang panjang (1932) yang
merupakan kelanjutan dan perluasan dari organisasi pendidikan Thawalib, dan
Partai Islam Indonesia (PII) pada tahun 1938.
Sementara itu, hampir pada waktu yang
bersamaan, pemerintah penjajah menjalankan politik etis, politik balas budi.
Belanda mendirikan sekolah-sekolah formal bagi bumi putra, terutama dari
kalangan priyayi dan kaum bangsawan. Pendidikan Belanda tersebut membuka mata
kaum terpelajar akan kondisi masyarakat Indonesia. Pengetahuan mereka akan
kemiskinan, kebodohan dan ketertindasan masyarakat Indonesia, pada saatnya
mendorong lahirnya organisasi-organisasi sosial, seperti Budi Utomo, Taman
siswa, Jong Java, Jong Sumatera Bond, Jong Ambon, Jong Selebes, dan lain
sebagainya.
Organisasi-organisasi sosial keagamaan Islam
dan organisasi-organisasi yang didirikan kaum terpelajar di atas, menandakan
tumbuhnya benih-benih nasionalisme dalam pengertian modern. Namun, kebanyakan
anggota masing-masing saling berhadapan sebagai dua belah pihak yang-walaupun
dalam banyak hal dapat bekerjasama-seringkali bertentangan.
Gerakan-gerakan Islam pada masa ini dapat
dilihat sebagai dampak perubahan yang dilakukan order baru di bidang ekonomi
dan sosial politik. Kecenderungan itu terjadi karena kebangkitan order baru
bukan saja ditandai dengan perubahan kritis terhadap struktur politik, tetapi
yang lebih penting adalah perubahan pemikiran di berbagai dimensi kehidupan
bangsa. Kepeloporan dari para kalangan kampus, kaum intelektual dan
teknokrat merupakan induksi kebangkitan
order baru yang mencerminkan revolusi kaum menengah kota. Demikian pula di
kalangan Islam hal itu mencerminkan kiprah dan perubahan alam pikiran yang
secara dinamis memberikan ide-ide alternatif dalam merespon orientasi politik
orde baru yang terkonsepsi dalam pembangunan.
Pengembangan ide pokok-pokok “pembangunan” itu
identik dengan isumodernisasi dan bahkan dalam beberapa segi lebih
diasosiasikan sebagai “proses westernisasi” karena penekanan kuat pada pola
atau model pembangunan negara-negara barat. Ide tersebut pada gilirannya mempengaruhi
perubahan pemikiran keislaman kaum muslimin. Persoalan yang muncul
dikalangan Islam adalah bagaimana melihat ‘modernisasi’ dari kaca mata ajaran
Islam. Dari persoalan ini muncul gagasan-gagasan baru, terutama dari kalangan
intelektual dan pada gilirannya melahirkan pula model-model baru gerakan
keagamaan sebagai reaksi atas isu-isu pembangunan itu.
2.3.2
Kecenderungan
Wacana Intelektual Islam Kontemporer dalam Lembaga-lembaga Modern.
Formulasi doktrin Islam dan pemikiran modern,
yang menjadi ciri wacana Islam kontemporer adalah salah satu dampak signifikan
dari arus Islamisasi melalui jaringan intelektual timur tengah-nusantara pada
abad ke17 dan 18, yang ditandai dengan proses harmonisasi antara wacana Islam
sufistik dan Islam syari’at. Arus modernisasi ini kemudian memunculkan
organisasi-organisasi Islam di abad ke-20, yang sekaligus sering disebut sebagai
ciri dari masyarakat Islam modern. Lahirnya serikat dagang Islam, Muhammadiyah,
Nahdlatul Ulama dan juga Sumatra Thawalib dan sebagainya menjadi wujud dari
proses formulasi tersebut.
Lahirnya organisasi atau gerakan-gerakan sosial
keagamaan, yang pada umumnya memiliki pemikiran-pemikiran transformative,
menjadi ciri dari munculnya masyarakat modern, ketika wacana intelektual Islam
pun menjadi lebih terbuka dan semakin bercorak plural. Dalam hal ini juga tidak
dapat diabaikan, upaya-upaya organisasi tersebut dalam melakukan pembaruan
pendidikan. Pendidikan tradisional melalui pesantren yang dulu hanya
diselenggarakan dengan sangat sederhana, kurang sistematis dan hanya
mempelajari ilmu-ilmu agama Islam saja kemudian diperbaharui dengan cara
mengembangkan pendidikan sekolah atau madrasah yang didalamnya diajarkan
mengenai ilmu-ilmu dunia yakni ilmu alam dan ilmu sosial.
Di samping itu, sejak dekade 1970-an, banyak
bermunculan apa yang disebut intelektual muda muslim yang meskipun sering
kontroversial, melontarkan ide-ide segar untuk masa depan ummat. Kebanyakan
mereka adalah intelektual muslim berpendidikan yang terakhir ini sangat mungkin
adalah buah dari kegiatan-kegiatan organisasi mahasiswa Islam seperti himpunan
mahasiswa Islam, pergerakan mahasiswa Islam Indonesia, ikatan mahasiswa
Muhammadiyah dan sebagainya.
Selain itu, peranan dari departemen agama yang
telah banyak berjasa dalam membentuk dan mendorong kebangkitan Islam, tidak
boleh dilupakan. Dengan mendirikan beberapa institut-institut Islam, Jepang
sangat berjasa dalam menyiapkan guru-guru agama, pendakwah dan mubaliq dalam
kuantitas besar. Bahkan departemen agama tutur berperan dalam memnbina madrasah
dan pesantren-pesantren yang ada diseluruh wilayah nusantara ini. Kita juga
tidak bisa mengabaikan, kebijaksanaan dari pemerintah yang telah membentuk
majelis ulama Indonesia yang bisa dikatakan sebagai suatu forum pemersatu umat
Islam di Indonesia. Aspirasi-aspirasi umat, termasuk aspirasi politik, juga
bisa tersalurkan melalui lembaga ini.
Dari beberapa insititusi atau organisasi massa
Islam yang masih eksis hingga saat ini, seperti Persis, Al Irsyad, Jami’at
Khair, dan beberapa nama di luar jawa, seperti Nahdlatul Wathan, Sumatera
Thawali, dan lain-lain, nampaknya hingga saat ini Muhammadiyah dan Nahdlatul
ulama, lebih banyak dikenal oleh masyarakat luas. Ini juga tidak lepas dari
seringnya dua ormas tersebut diwacanakan dalam berbagai kajian ilmiah, baik
oleh ilmuwan lokal maupun internasional
selain itu dua ormas Islam terbesar di
Indonesia tersebut juga memiliki struktur kepemimpinan yang sangat hierarkis dari tingkat pusat di ibukota
hingga ketingkat ranting di kelurahan-kelurahan
Selain organisasi-organisasi tersebut di atas,
harus diakui pola peran dari organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok
keagamaan Islam yang juga aktif menyelenggarakan kajian-kajian, hanya saja
menurut sebagian orang mereka lebih sering memunculkan tema-team yang lebih bersifat politis, bukan kajian murni
yang bersifat ilmiah dan secara umum dianggap tidak memformulasikan
pemikiran-pemikiran transformative dalam menghadapi persoalan-persoalan aktual,
sehingga pemikiran-pemikiran mereka cenderung dianggap sebagai wacana
periforal. Kelompok-kelompok tersebut berkeyakinan bahwa tata kehidupan yang
baik dan bermartabat hanya dapat tercapai dengan mewujudkan kekhalifahan Islam.
Oleh karenanya untuk mencapainya, mereka harus melalui perjuangan politik.
Sebut saja seperti Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, Front
Pembela Islam dan beberapa nama lainnya.
Perkembangan pemikiran di masa ini, pada
intinya tidak terletak pada perbedaan kecenderungan pilihan wacana, tetapi lebih kepada kepribadian metode tafsir
terhadap nash, baik berkaitan dengan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an
maupun al Hadits. Kecenderungan metode penafsiran tekstual oleh kelompok Islam
“Fundamental” dengan kecenderungan metode tafsir liberal oleh komunitas Islam
“liberal” adalah inti dari perbedaan kecenderungan pemikiran di antara mereka.
Akan tetapi, berkaitan
persoalan-persoalan aktual yang muncul dewasa ini, pada akhirnya
perbedaan bermuara kepada persoalan pemilihan wacana. Wacana kenegaraan dan
penerapan syari’at Islam secara formal menjadi tema sentral komunitas Islam
fundamental, sementara wacana tentang hak asasi manusia (HAM), demokrasi,
pluralisme, multiculturalisme dan sebagainya menjadi tema-tema yang digemari
oleh komunitas Islam liberal.
2.3.3
Gerakan
Islam Kontemporer di Indonesia
Seiring tumbangnya pemerintahan Soeharto, Islam
di Indonesia menunjukkan dinamika yang kian bergemuruh. Berbagi kelompok dalam
banyak bentuk bermunculan seperti organisasi massa, partai politik dan
lembaga-lembaga kajian dan organisasi non pemerintah (ornop). Ini tentu tidak
terlepas dari keterbukaan politik dan kebebasan berekspresi serta kebebasan
berkumpul dalam sistem demokrasi sekarang. Sesungguhnya kita bisa melihat dari
berbagai sudut pandang tentang polarisasi Islam paska orde baru ini. Mark
Woodward (2001) misalnya mengelompokkan respon silam atas perubahan paska orde
baru ke dalam lima kelompok. Pengelompokan Woodward ini tampaknya melihat dari
sudut doktrin dan akar-akar sosial di dalam masyarakat Islam Indonesia yang
lama maupun yang baru.
Pertama adalah indigenized Islam. Indigenized
Islam adalah sebuah ekspresi Islam yang bersifat lokal; secara formal mereka
mengaku beragama Islam tetapi biasanya mereka lebih mengikuti aturan-aturan
lokalitas ketimbang ortodoksi Islam. Karakteristik ini paralel dengan apa yang
disebut Clifford Geerts sebagai Islam Abangan untuk konteks Jawa. Kedua adalah
kelompok tradisional Nahdlatul Ulama (NU). NU adalah penganut aliran Sunny
terbesar di Indonesia yang dianggap memiliki ekspresinya sendiri karena
disamping ia memiliki kekhasan yang tidak dimiliki kelompok lain seperti basis
yang kuat di pesantren dan di pedesaan, hubungan guru murid yang khas.
Kelompok ketiga adalah Islam modernis. Mereka
terutama berbasis pada Muhammadiyah. Sasaran utamanya adalah pelayanan sosial
seperti pendidikan dan kesehatan. Ia memperkenalkan ide-ide modernisasi dalam
pengertian klasik. Keempat adalah islamisme atau islamis. Gerakan ini tidak
hanya mengusung Arabisme dari konseruatisme tetapi juga di dalam dirinya terdapat paradigma
ideologi Islam Arab. Tidak heran jika jihad dan penerapan syari’ah Islam
menjadi karakter utama dari kelompok ini.
Kelompok kelima adalah neo-modernisme Islam. Ia
lebih dicirikan dengan gerakan intelektual dan kritiknya terhadap doktrin Islam
yang mapan. Mereka berasal dari berbagai kelompok termasuk kalangan tradisional
maupun dari kalangan modernis. Kelompok ini sangat kritis terhadap penerapan
syariah Islam tanpa perubahan dan kritik terhadap doktrin terlebih dahulu,
serta membela kesetaraan perempuan, pluralisme dan toleransi.
Terjadinya perbedaan dalam melihat kondisi
Islam di Indonesia itu merupakan dampak dari pengembangan pemikiran khususnya
dalam dinamika intelektual yang diorientasikan kepada pembangunan kebangsaan.
Satu hal yang mestinya sadari bahwa semakin banyaknya organisasi-organisasi
atau kelompok-kelompok Islam yang muncul belakangan ini sebenarnya dapat
menjadi kekayaan wacana tentang Islam di Indonesia.
Barangkali yang jauh lebih penting adalah,
bagaimana mengupayakan pembinaan kesadaran bersama, bahwa Islam ditengah-tengah
kehidupan bangsa ini laksana satu panji beragam arti, dan keragaman makna
sebaiknya diyakini sebagai anugerah ilahi untuk dinikmati kita bersama.
Islam modernis di Indonesia sebenarnya sudah
muncul sejak awal abad ke-20.pada tahu 1906 misalnya muncul apa yang disebut
kelompok muda di Sumatra Barat, tepatnya di Minangkabau. Mereka itu adalah Haji
Abdul Karim Amrullah (Haji Rosul), Haji Abdullah Ahmad,dan Syaikh Daud Rasyidi.
Kelompok ini mendapat tantangan keras dari kelompok Tua yang terdiri dari
Syaikh Khatib Ali, Khatib Sayyidina, Syaikh Bayang, Syaikh Seberang, imam
Masjid Ganting, dan Syaikh Abbas. Kelompok islam modernis yang terdiri dari
kaum ulama dan cendekiawan terseut sering melakukan protes terhadap struktur
kekuasaan adat yang tidak memberikan tempat kepada mereka.
Selanjutnya paham islam modernis dikembangkan
dan dimasyarakatkan lebih sungguh sungguh oleh Harun Nasution melalui institusi
Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarata, lembaga diamana yang
bersangkutan sebagai dosen dan orang nomer satu, yakni sebagai Rektor dari
sejak tahun 1971 sampai tahun 1985. Melalui karya-karyanya beliau berusaha
menjelaskan apa yang dimaksud dengan Islam modernis, apa tujuan serta progamnya
dan sebagainya. Pemikiran Harun Nasution ini banyak diikuti oleh mahasiswa IAIN
Jakarta dan Perguruan Tinggi lainnya,tempat dimana ia mengabdikannya ilmunya.
Alumni IAIN Jakarta seperti Fachry Ali, Komaruddin Hidayat, Atho Mudzhar, Hadi
Mulyo, Mansur Faqih, Azyumari Azra, Saeful Muzani, Abudin Nata, Sudirman Teba
dan lainnya adalah murid-murid beliau yang hingga kini tetap komitmen dan
mensosialisasikan paham Islm modernis tersebut.[18]
Pemikiran Islam modernis lebih lanjut
dikembangkan dan dimasyarakatkan dengan penuh agresivitas oleh Nurcholish
Madjid melalui berbagai karyanya.[19]
Dalam berbagai karyanya itu Nurcholish mengatakan bahwa bagi seorang muslim,
modernisasi adalah suatu keharusan bahkan suatu kewajiban mutlak. Modernisasi adalah
perintah dan ajaran Tuhan.
Ide-ide Islam modernisasi selanjutnya
diperkenalkan oleh Mukti Ali, Delier Noer dan Munawir Sjadzali. Dalam bukunya
yang berjudul Islam dan Sekularisme di Turki Modern, dan Alam Pikiran
Islam Modern di India dan Pakistan, Mukti Ali menjelaskan dengan panjang
lebar pemikran Islam modernis dari tokoh-tokoh Turki seperti Ziya Gokalp (lahir
1875M) dan Kemal Attaturk; dan tokoh dari India dan Pakistan seperti Sayyid
Amir Ali, Abul Kalam Azad, Maulana Muhammad Ali, Iqbal, Muhammad Ali Jinnah,
Liaquat Ali Khan dan Maulana Sayid Abul Ala al-Maududi. Menurut Ziya Gokalp,
bahwa Islam adalah sejalan dengan peradaban modern, sekalipun banyak dari
orang-orang yang sekurun zaman dengan dia mempunyai pendapat yang berbeda.[20]
Menurut Kemal bahwa agama adalah suatu lembaga social. Oleh karena itu agama
harus memuaskan keperluan hidup menuju kea rah proses perkembangan.[21]
Selanjutnya pemikiran Islam Modernis Deliar
Noer dapat dipelajari antara lain dalam bukunya yang berjudul Gerakan Modern
Islam di Indonesia 1900-1945.Dalam buku ini Delier Noer secara mendalam
memaparkan pemikiran Islam modernis yang berasal dari para tokoh Minangkabau
seperti Syaikh Ahmad Khatib (lahir 1855M), Syaikh Muhammad Djamil Djambek
(lahir 1860) dan Haji Abdullah Ahmad (lahir 1878M). Setelah itu diikuti dengan
uraian pemikiran Islam modernis dari tokoh-tokoh Muhammadiyah (didirikan tahun
1912M). Dalam buku tersebut secara eksplisit Delier Noer tidak memperlihatkan
sikapnya sebagai Islam Modernis. Namun dari kesungguhannya membahas gerakan
Modern Islam di Indonesia ini selain ia ingin menunjukkan tentang eksisitensi
dan peranan kaum Islam Modernis di Indonesia dalam peraturan polotik dan
social, juga mengandung missi agar gerakan Islam modernis tersebut dilanjutkan
oleh umat Islam lainnya.
Sementara itu pemikiran Islam Modernis dari H.
Munawir Sjadzali dapat dijumpai dalam bukunya yang berjudul Islam dan Tata
Negara. Dalam buku tersebut Munawir Sjadzali antara lain mengatakan bahwa
dalam kitab suci umat Islam itu terdapat seperankat prinsip dan tata nilai
etika bagi kehidupan bermasyarakat prinsip dan tata nilai etika bagi kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
Al-Quran antara lain mengajarkan prinsip
tauhid, permusyawaratan dalam mencari pemecahana masalah-masalah bersama,
ketaaan kepada pemimpin, persamaan, keadilan, kebebasan beragama dan sikap
saling menghormati dalam hubungan antara umat-umat dari berbagai agama.
Pemikiran Islam modernis dari Munawir Sjadzali
lebih lanjut dapat dilihat pada gagasannya yang berkaitan dengan hokum waris.
Dalam bidang waris ini, ia mencoba ingin keluar dari ketentuan pembagian
warisan yang didasarkan pada Al-Quran, dengan bernaung kepada ketentuan ayat
Al-Quran lainnya. Dengan kata lain ia ingin lari dari satu ayat kemudian ayat
al-quran lainnya. Dengan kata lain ia ingin lari dari satu ayat kemudian masuk
atau bernaung kepada ayat lain yang juga terdapat di dalam al-quran. Contoh
dalam kasus ini antara lain berkaitan dengan pembagian waris kaum wanita.[22]
Dalam kodisi masyarakat yang modern, dan memungkinkan wanita dapat memproleh
pendapatan yang lebih tinggi dari kaum pria, Munawir melihat bahwa pembagian tersebut
terasa kurang adil. Sedangkan di dalam al-Quran banyak sekali dijumpai ayat
yang menyuruh berbuat keadilan.[23]
Dengan mengemukakan uraian tersebut diatas,
dapat diketahui dengan jelas bahwa Islam modernis di Indonesia benar-benar
eksis dan memiliki peranan dan fungsi yang amat strategis di Indonesia.
Keterlibatan mereka dapat memberikan kontribusi secara nyata dalam memecahkan
berbagai masalah social, ekonomi dan politik yang dilakukan melalui organisasi,
massa media dan lain sebagainya tidak dapat dibantah. Sejarah mencatat bahwa
perjuangan merebut kemerdekaan dari tangan penjajah Belanda dan Jepang dimotori
oleh kalangan Islam modernis. Peran dan fungsi strategus dari keompok Islam
modernis ini semakin dituntut lebih besar lagi, mengingat banyak sekali
masalah-masalah krusial yang mendesak untuk dicarikan pemecahannya.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Sebelum
kedangan islam, Indonesia telah di warnai oleh budaya India dan budaya lokal.
Masuknya budaya India yang bersifat mistik ke wilayah nusantara melalui agama
Hindu dan Budha. Ada 4 teori tentang islamisasi awal di Indonesia. Yaitu islam
yang bersumber dari Anak Benua India(teori India),teori Arab, teori Persia,
teori Cina. Islam di Indonesia dilakukan dengan cara damai atau tanpa ada
penumpahan darah. Masuknya Islam di Indonesia dilakukan enam saluran yaitu,
saluran perdagangan, pernikahan, tasawuf, pendidikan, kesenian dan politik.
Kerajaan Islam
di Indonesia terbagi di wilayah Sumatra yaitu Kerajaan Perlak, Samudra Pasai,
Kerajaan Malaka, Kerajaan Aceh Darussalam. Di wilayah Jawa meliputi Kerajaan
Demak, Kerajaan Pajang, Kerajaan Mataram, Cirebon, Banten, dan Madura.
Islam modernis di Indonesia benar-benar eksis dan
memiliki peranan dan fungsiyang amat strategis di Indonesia. Keterlibatan para penulis
yang mengantarkan Islam secara modern dapat memberikan kontribusi secara nyata
dalam memecahkan berbagai masalah social, ekonomi dan politik yang dilakukan
melalui organisasi, massa media dan lain sebagainya tidak dapat dibantah.
Sejarah mencatat bahwa perjuangan merebut kemerdekaan dari tangan penjajah
Belanda dan Jepang dimotori oleh kalangan Islam modernis. Peran dan fungsi
strategus dari keompok Islam modernis semakin dituntut lebih besar lagi,
mengingat banyak sekali masalah-masalah krusial yang mendesak untuk dicarikan
pemecahannya.
DAFTAR PUSTAKA
Nur Muhammad
Hakim,2004, Sejarah dan Peradaban Islam, Malang: Universitas Muhammadiyah.
NN, 2006, Sejarah
Peradaban Islam di Indonesia,Jogjakarta: Penerbit Pustaka (Kelompok
Penerbit Pinus).
Madjid
Nurcholish, 1971,Nilai-nilai Dasar Perjuangan, PB HMI
Natta
Abuddin,2001, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta: PT
Raja Gravindo Persada.
No comments:
Post a Comment