Saturday, 3 November 2018

Siapa Sang Guru di balik Sukarno ?

A.  Sukarno, Murid dan Menantuku
Biografi Sukarno
"Ketika datang waktunja untuk masuk sekolah menengah, bapak sudah tahu apa jang harus dikerdjakannja. Ia menggunakan pengaruh kawan-kawannja untuk memasukkanku kesekolah menengah jang tertinggi di Djawa Timur, jaitu Hogere Burger School di Surabaja.,,Nak," katanja, ,,Maksud ini sudah ada dalam pikiranku semendjak kau dilahirkan kedunia." Semua telah diaturnja dan aku akan tinggal dirumah H.O.S. Tjokroaminoto, ialah orang jang kemudian merobah seluruh kehidupanku.,,Tjokro," ia menerangkan padaku, ,,Adalah kawanku di Surabaja sedjak sebelum kau ada.",,0," kataku gembira, ,,Saja kira dia keluarga kita." ,,Tidak," djawab bapak. ,,Oo, barangkali mungkin keluarga  jang  sangat  djauh,  tapi  tidak  serapat  seorang  kemenakan  atau  paman."  Kemudian  bapak memandang kepadaku sesaat. ,,Kautahu siapa Tjokro?" ,,Saja hanja tahu, dia berkeliling untuk mempropagandakan kejakinan politiknja. Saja ingat dia datang kekampung kita untuk mengadakan pidato dan menginap, bapak dengan dia mengobrol sampai waktu subuh." ,,Tjokro adalah pemimpin politik dari orang Djawa. Sungguhpun engkau akan mendapat pendidikan Belanda, aku tidak ingin darah dagingku mendjadi kebarat- baratan. Karena itu kau kukirim kepada Tjokro, orang jang didjuluki oieh Belanda sebagai 'Radja Djawa jang tidak dinobatkan”.
Ilustrasi diatas yang ditulis oleh Cindy Adam dalam Autobiografi Sukarno adalah awal kisah sang putra fajar sebelum hijrah ke Surabaya dan bertemu dengan sang guru “Haji Oemar Said Tjokroaminoto”. Sukarno atau nama kecilnya sering dipanggil kusno adalah manusia yang terlahir dari pasangan bangsawan darah bali dan jawa yakni Raden ajeng Soekemi Sosrodharjo dan Idayu nyoman ray pada tanggal 6 Juni 101 di kota pahlawan Surabaya tepat di saat fajar menyingsing.[1] Peristiwa inilah yang membawanya kelak dengan julukan  sang putera fajar.
Pendidikan Sukarno dimulai dari didikan sang ayah dan ibu yang keduanya menganut teosofi jawa hindu dan seorang perempuan yang  merawatnya ketika kecil yang kelak membentuk wataknya agar selalu berpihak kepada rakyat jelata yaitu Sarinah.[2] Sedangkan pendidikan formalnya dimulai dari sekolah bumi putera di desa tulung agung, tempat kakeknya tinggal. Disinilah Sukarno mulai belajar membaca, menghitung, menulis dan berbicara bahasa jawa. Di lanjutkan ke sekolah angka loro di Sidoarjo dan ketika memasuki umur 12 ia pindah ke Mojokerto, melihat perkembangan si Kusno begitu cepat ia dipindahkan ke sekolah belanda favorit di Mojokerto ELS. Setamatnya di ELS ia melanjutkan sekolahnya di HBS.[3] Di HBS inilah ia mulai mengenal teori-teori dasar  marxisme yang diajarkan oleh guru Belanda C.Hartogh.


Sukarno Sang Orator
Sudah tidak dipungkiri lagi bahwa kebesaran Tjokroaminoto bukan dongeng semata melainkan berdasarkan fakta-fakta sejarah yang di akui oleh para pendiri bangsa tak terkecuali Sukarno. Seperti yang ia tuangkan di dalam autobiografinya bahwa pertemuannya dengan Tjorko merupakan hadiah terbesar dari Tuhan yang diberikan kepadanya.
Dalam catatan autobiografinya Sukarno juga  mengatakan bahwa peranan sang ayah pak Suekemi sangat berandil besar dalam menentukan masa depan Sukarno termasuk rencana sang ayah untuk memondokannya di rumah panglima besar Sarekat Islam itu. Suekemi yang dikenal sebagai guru sekolah yang berfikiran modernis dan pengikut setia sarekat islam sangat menginginkan anaknya agar belajar banyak kepada pak Tjokro.
aku tidak ingin darah dagingku mendjadi kebarat- baratan. Karena itu kau kukirim kepada Tjokro, orang jang didjuluki oieh Belanda sebagai 'Radja Djawa jang tidak dinobatkan”.
Gang  paneleh bermodelkan rumah Jawa pada umumnya disnilah sang putra fajar muda tinggal dan bertatap muka langsung dengan  si hero Tjorko  sang ratu adil atau sang raja jawa tanpa mahkota yang di idam- idamkan oleh seluruh rakyat khususnya wong cilik, yang namanya sering di sebut oleh tokoh-tokoh kampungnya.
Tinggal bersama keluarga pak Tjokro, Sukarno muda  sangat senang karena perlakuan sang kepala rumah tangga seperti orang tuanya sendiri, menyayangi dan memperhatikannya seperti orang tua pada umumnya. Selain itu tak jarang terkadang ia sering satu meja bareng untuk makan, berdiskusi dan berbincang bersama dengan para tamu Tjokro yang sering datang ke rumahnya.
Lalu lalang para tokoh yang datang ke rumah pak kosnya baik dari golongan kiyai, priyai ataupun Belanda. Sukarno semakin menyadari bahwa pak kos yang tinggal bersamanya itu bukanlah sembarang orang melainkan pemimpin yang sangat di segani. Untuk itu secara secara perlahan-lahan ia mulai memperhatikan dan meniru apa -apa yang di lakukan oleh Tjokro.
Bahkan dalam Autobiografinya ia secara terang -terangan mengakui sendiri bahwa pak Tjokrolah yang mengantarkan dirinya sampai menjadi orang yang besar dan orator yang ulung. Dikatakan oleh Anhar Gonggong, sejarawan Universitas Indonesia “ Andaikan Sukarno tidak didik oleh Tjokroaminoto, niscaya ia tidak akan menjadi sukarno yang kita kenal hari ini”.
Dibawah didikan Omar said Tjokroaminoto, Sukarno muda digembeleng menjadi orang yang tangguh, kritis dan haus akan buku-buku. Dan inilah yang mengantarkannya lebih jauh ke samudera pengetahuan sehingga ia banyak bertemu pemikiran pemikiran tokoh tokoh barat seperti Abraham Linclon, Thomas Jeffreon, George Washington. Bahkan, Soekarno semakin jauh menyelami pemikiran Karl Marx, Frederick Engels, Lenin dan sampai menuju revolusi Prancis.[4]
“Dalam suatu kesempatan Tjokro yang sedang asyik membaca dihampiri oleh Kusno, Lalu Tjokro menyodorkannya buku berjudul de franse revolutie”.[5]
Selain itu orasi Tjokroaminoto yang menggelegar dan mampu menggetarkan hati masa tak terkecuali lawannya, membuat Sukarno terpikat dan mulai meniru gaya sang guru, Anhar gonggong menilai gaya orasi sukarno adalah hasil adopsinya dari Tjokroaminoto.[6]
 Ketika Tjokroaminoto berkeliling ke daerah daerah untuk mengkampanyekan gagasan-gagasan politiknya. Sukarno tak segan-segan menawarkan diri untuk mendapingi sang guru kemanapun ia pergi sembari mengamati dan menyadap sang guru berorasi.
 “Cerminanku adalah Tjokroaminoto, aku memperhatikan bagaimana dia menjatuhkan suaranya, aku melihat gerak tubuhnya, dan mengamatinya untuk kepentinganku” kata Suarno.[7]
Tak hanya di glangangg lapang Sukarno terus mencari cara bagaimana  agar dirinya semakin dekat dengan sang mentor. Seperti yang di ceritakan oleh Harsono Tjokroaminoto yang di tulis oleh Soebagijo :
“Bung Karno memang sudah nampak keinginannya untuk menjadi orang yang nomor satu. Mula-mula ia mendapatkan kamar di belakang dan karena keadaan, penerangan pada waktu malam untuk belajar hanyalah lampu teplok belaka, yang dekat kamar dengan Tjokroaminoto. Dan Tjokroaminoto dengan pandangan hatinya yang tajam membiarkan Sukarno berbuat yang demikian”.[8]
Nuroni suyomukti menambahkan bahwa julukan sang singa podium yang dilekatkan kepada sukarno sebenarnya merupakan kata yang pernah melekat di dalam diri Tjokro.[9]
Berkat Tjokro, Sukarno muda tumbuh menjadi pemuda yang kritis, cerdas, dan selalu berpihak kepada orang orang yang lemah. Perkembangan Sukarno yang demikian juga disadari oleh Tjokro, untuk itu setiap kali Tjokro kedatangan para tokoh tokoh nasional Tjokro selalu mengajak Sukarno untuk mendengarkan dan ikut terlibat dalam meja meja diskusi seputar permasalahan kebangsaan. Selain itu bersama kawan kawan kosannya seperti Darsono, Muso ia sering berdiskusi seputar permasalahan yang dihadapi rakyat mengenai kesengsaraan rakyat yang di akibatkan eksploitasi oleh kolonial :
Sukarno:“Berapa banyak yang di ambil Belanda dari Indonesia”Tjokroaminoto: “De Verneigde Oost Indische Compagne” kira-kira 1800 juta gulden dari tanah air kita setiap tahun untuk memberi makan Den Haag”.Sukarno: “Apa yang tersisa di negeri kita, tanya Sukarno”.Alimin: “Rakyat tani kita yang bekerja mandi keringat mati kelaparan karena hanya mendapat penghasilan sebenggol sehari”.Muso: “Kita menjadi bangsa kuli dan menjadi kuli di antara bangsa-bangsa”.Tjokroaminoto: “Sarekat Islam bekerja untuk memperbaiki keadaan dengan mengajukan mosi-mosi kepada pemerintah.jelas pak tjokro, yang kelihatan senang karena melihat murid yang begitu semangat.”perjuangan pajak dan serikat-serikat buruh hanya dapat diatasi dengan bekerja sama dengan Belanda, sekalipun kita membernci kerjasama ini ”.Sukarno: “Tapi apakah baik membenci seseorang, sekalipun dia orang Belanda”.Tjokroaminoto: “Kita tidak membenci rakyatnya, kita membenci sistem pemerintahan kolonial”.Sukarno: “Mengapa keadaan kita tidak menjadi lebih baik jika rakyat kita telah berjuang melawan sistem ini selama berabad-abad”.Alimin: “Karena pahlawan-pahlawan kita selalu berjuang sendiri-sendiri Masing-masing berjuang dengan pengikut yang kecil di daerah yang terisolasi dan terpencil. Sukarno: “Ya, mereka kalah karena tidak bersatu,”.[10]
Berbekal mentor dari sang guru Sang putra fajar tumbuh menjadi orang yang piawai dalam berdebat dan berdiskusi sehingga tak sedikit perempuan yang tertarik kepadanya tak terkecuali anak sang mentor yang jatuh ke pangkuannya “Oetari Tjokroaminoto”.
Keduanya akhirnya menikah dimana Sukarno pada saat itu  masih berusia sekian 14 tahun, dalam catatan Jonar T.H Situmorang di jelaskan bahwa sebenarnya perkawaninan antara Sukarno dan Oetari lebih kepada berdasarkan rasa belas kasih Sukarno kepada gurunya yang semasa di tinggal oleh Istri tercintanya Sumarsikin, Tjokroaminoto merasa kwatir akan nasib anak anaknya karena di satu sisi ia harus berjuang memimpin Sarekat Islam. Namun ada versi lain yang mengatakan bahwa perkawinan mereka berdua karena adanya desakan dari ibu Sukarno untuk meminang anak sang mentor.[11]
Sewaktu Tjokro di penjara karena di tuduh oleh pemerintah menjadi dalang di balik pemberontakan SI Afdeling B di Garut, Sukarno berperan menggantikan Tjokro sebagai tulang punggung keluarga dengan mengurusi anak anak mertuanya bahkan ia sempat menyunatkan salah satu anak Tjokro.
 Namun menjadi tulang punggung muda tak menyurutkan Sukarno dalam melanjutkan perjalanan karirnya. Selepas Tjokro keluar dari penjara. Sukarno kembali lagi ke ITB untuk melanjutkan sekolahnya. Kehijrahannya ke bandung yang kedua kalinya inilah awal sang putera fajar mulai memperjuangkan ide-idenya lewat organisasi yang berbeda dengan sang mertua yang akhirnya inilah awal  permulaannya berpisah dengan sang mentor. Di dalam “Sarinah” ia menceritakan bahwa ia bersama sang pemimpin sarekat Islam itu enam tahun lamanya.[12]




[1] Badri Yatim, Sukarno Islam dan Nasionalisme (Bandung: Penerbit Nuansa, 2001), 5. Perlu diketahui bahwa sampai detik ini banyak orang yang menilai bahwa Sukarno terlahir di Blitar, sebuah kota yang terletak di selatan Jawa Timur. seperti yang pernah di kutip dalam pidato Presiden Joko widodo, padahal hal ini sangatlah keliru karena dalam catatan sejarah dan pengakuan langsung dari Sukarno mengatakan bahwa beliau terlahir di Surabaya , kotanya para pahlawanan namun karena adanya distorsi sejarah yang dilakukan oleh kelompok Orde Baru untuk mengenyahkan nama proklamor bangsa ini banyak orang percaya bahwa beliau terlahir di kota Blitar.
[2] Salah satu karyanya yang ia beri judul “Sarinah” adalah bentuk kecintaan dan penghormatannya terhadap sosok perempuan yang selama ini merawat dan membentuk kepribadiannya untuk menjadi Sukarno kecil yang selalu berpihak kepada orang-orang yang terlantar dan miskin. Buku tersebut merupakan proyek terbesar sukarno untuk memberikan apresiasi terhadap perempuan yang seama ini menjadi inspirasinya. Tidak hanya melalui sebuah buku nama Sarinah juga beliau kukuhkan sebaga nama Jalan dan gedung megah pertama kali yang dimiliki oleh bangsa ini pada era orde lama. Baca Sukarno, Sarinah “ kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia “ (Yogyakarta: Buku-buku Karangan Presiden Sukarno,1963), 5-6.
[3] Badri, hal 8.
[4] Nuroni Suyomukti, Soekarno dan China (Yogyakarta: Garasi, 2012), 18-19.
[5] De franse revolutie adalah sebuah buku tentang revolusi perancis, melalui buku tersebutlah Kusno muda mulai mengembara memasuki gerbang gagasan revolusi di benua Eropa yang menjadi tempat bersarangnya kapitalisme.
[6] Kamar sudut paling belakang menjadi saksi bagaimana sukarno muda sering berlatih berorasi tatkala ia telah selesai mendengarkan ceramah ceramah tjokroaminoto. “Persetan dengan penindasan” hancurkan imperialisme kata Sukarno.
[7] Cindy Adam., Bung Karno Penyambung Lidah rakyat. hlm 7. Baca juga Raharjo , Imam Toto K Suko Sudarso, Bung Karno Islam dan Pancasila, NKRI (Jakarta: Penerbit KNRI, 2006), 543. Di dalam buku tersebut di ceritakan bahwa ketika kongres gerakan wanita partai syarikat islam indonesia, Sukarno mengatakan ,” I try to live up to the teaching of Tjokroaminoto”,.
[8] Soebagijo LN, Harsono Tjokroaminoto Mengikuti Jejak Perjuangan sang ayah (Jakarta:Gunung Agung, 1985),8.
[9] Nuroni Suyomukti, Perempuan di mata Sukarno (Yogyakarta: GARASI, 2009) ,67.
[10] Cindy Adam, Autobiografi Sukarno Penyambung Lidah Rakyat (Jakarta:Yayasan Bung Karno, 2014), 4.
[11] Jonar T.H. Situmorang, Bung Karno Biografi Putra Sang Fajar (Yogyakarta: Ar Ruzzmedia, 201lima), 196. Baca juga. Ipnu Rinto, The Love of Story of Bung Karno (Yogyakarta: Buku Pintar, 2013), 60.
[12] Sarinah., 251.

No comments:

Post a Comment