A. Sukarno, Murid dan
Menantuku
Biografi Sukarno
"Ketika datang
waktunja untuk masuk sekolah
menengah, bapak sudah tahu apa jang harus dikerdjakannja.
Ia
menggunakan pengaruh kawan-kawannja untuk memasukkanku kesekolah menengah jang
tertinggi di Djawa Timur, jaitu Hogere Burger School
di Surabaja.,,Nak," katanja, ,,Maksud ini
sudah ada dalam pikiranku semendjak kau dilahirkan kedunia." Semua
telah diaturnja dan aku akan tinggal dirumah H.O.S.
Tjokroaminoto, ialah orang jang
kemudian merobah seluruh kehidupanku.,,Tjokro," ia menerangkan padaku, ,,Adalah kawanku di Surabaja sedjak sebelum kau
ada.",,0," kataku gembira, ,,Saja kira dia keluarga kita." ,,Tidak," djawab
bapak. ,,Oo, barangkali mungkin keluarga jang sangat djauh, tapi tidak serapat seorang kemenakan atau paman."
Kemudian bapak
memandang kepadaku sesaat. ,,Kautahu siapa Tjokro?" ,,Saja hanja tahu, dia berkeliling
untuk mempropagandakan kejakinan politiknja. Saja ingat dia datang kekampung kita untuk mengadakan pidato dan menginap, bapak dengan dia mengobrol sampai waktu subuh." ,,Tjokro adalah pemimpin politik dari
orang Djawa. Sungguhpun engkau akan mendapat pendidikan Belanda,
aku tidak ingin darah dagingku mendjadi kebarat- baratan. Karena itu kau kukirim kepada Tjokro, orang jang didjuluki oieh Belanda sebagai 'Radja Djawa jang tidak dinobatkan”.
Ilustrasi diatas yang ditulis oleh Cindy
Adam dalam Autobiografi Sukarno adalah awal kisah sang putra fajar sebelum hijrah ke
Surabaya dan bertemu dengan sang guru “Haji Oemar Said Tjokroaminoto”. Sukarno
atau nama kecilnya sering dipanggil kusno adalah manusia yang terlahir dari
pasangan bangsawan darah bali dan jawa yakni Raden ajeng Soekemi Sosrodharjo
dan Idayu nyoman ray pada tanggal 6 Juni 101 di kota pahlawan Surabaya tepat di
saat fajar menyingsing.[1]
Peristiwa inilah yang membawanya kelak dengan julukan sang putera fajar.
Pendidikan Sukarno dimulai dari didikan
sang ayah dan ibu yang keduanya menganut teosofi jawa hindu dan seorang
perempuan yang merawatnya ketika kecil
yang kelak membentuk wataknya agar selalu berpihak kepada rakyat jelata yaitu
Sarinah.[2]
Sedangkan pendidikan formalnya dimulai dari sekolah bumi putera di desa tulung
agung, tempat kakeknya tinggal. Disinilah Sukarno mulai belajar membaca,
menghitung, menulis dan berbicara bahasa jawa. Di lanjutkan ke sekolah angka
loro di Sidoarjo dan ketika memasuki umur 12 ia pindah ke Mojokerto, melihat
perkembangan si Kusno begitu cepat ia dipindahkan ke sekolah belanda favorit di
Mojokerto ELS. Setamatnya di ELS ia melanjutkan sekolahnya di HBS.[3]
Di HBS inilah ia mulai mengenal teori-teori dasar
marxisme yang diajarkan oleh guru Belanda C.Hartogh.
Sukarno Sang Orator
Sudah tidak dipungkiri
lagi bahwa kebesaran Tjokroaminoto bukan dongeng semata melainkan
berdasarkan fakta-fakta sejarah yang di akui oleh para pendiri bangsa tak
terkecuali Sukarno. Seperti yang ia tuangkan di dalam autobiografinya bahwa
pertemuannya dengan Tjorko merupakan hadiah terbesar dari Tuhan yang diberikan
kepadanya.
Dalam catatan
autobiografinya Sukarno juga mengatakan
bahwa peranan sang ayah pak Suekemi sangat berandil besar dalam menentukan masa
depan Sukarno termasuk rencana sang ayah untuk memondokannya di rumah panglima
besar Sarekat Islam itu. Suekemi yang dikenal sebagai guru sekolah yang
berfikiran modernis dan pengikut setia sarekat islam sangat menginginkan
anaknya agar belajar banyak kepada pak Tjokro.
“aku tidak ingin darah dagingku mendjadi kebarat- baratan. Karena itu kau kukirim kepada Tjokro, orang jang didjuluki oieh Belanda sebagai 'Radja Djawa jang tidak dinobatkan”.
Gang paneleh bermodelkan rumah Jawa pada umumnya
disnilah sang putra fajar muda tinggal dan bertatap muka langsung dengan si hero Tjorko sang ratu adil atau sang raja jawa tanpa
mahkota yang di idam- idamkan oleh seluruh rakyat khususnya wong cilik, yang
namanya sering di sebut oleh tokoh-tokoh kampungnya.
Tinggal bersama
keluarga pak Tjokro, Sukarno muda sangat
senang karena perlakuan sang kepala rumah tangga seperti orang tuanya sendiri,
menyayangi dan memperhatikannya seperti orang tua pada umumnya. Selain itu tak jarang terkadang ia sering satu meja bareng untuk
makan, berdiskusi dan berbincang bersama dengan para tamu Tjokro yang sering
datang ke rumahnya.
Lalu lalang para tokoh
yang datang ke rumah pak kosnya baik dari golongan kiyai, priyai ataupun
Belanda. Sukarno semakin menyadari bahwa pak kos yang tinggal bersamanya itu
bukanlah sembarang orang melainkan pemimpin yang sangat di segani. Untuk itu secara secara perlahan-lahan ia mulai memperhatikan dan meniru apa -apa yang
di lakukan oleh Tjokro.
Bahkan dalam Autobiografinya ia secara
terang -terangan
mengakui sendiri bahwa pak Tjokrolah yang mengantarkan dirinya sampai menjadi
orang yang besar dan orator yang ulung. Dikatakan oleh Anhar Gonggong,
sejarawan Universitas Indonesia “ Andaikan Sukarno tidak didik oleh
Tjokroaminoto, niscaya ia tidak akan menjadi sukarno yang kita kenal hari ini”.
Dibawah didikan Omar said Tjokroaminoto,
Sukarno muda digembeleng menjadi orang yang tangguh, kritis dan haus akan buku-buku. Dan inilah yang
mengantarkannya lebih jauh ke samudera pengetahuan sehingga ia banyak bertemu
pemikiran pemikiran tokoh tokoh barat seperti Abraham Linclon, Thomas Jeffreon,
George Washington. Bahkan, Soekarno semakin jauh menyelami pemikiran Karl Marx,
Frederick Engels, Lenin dan sampai menuju revolusi Prancis.[4]
“Dalam suatu kesempatan Tjokro yang sedang asyik membaca dihampiri oleh
Kusno, Lalu Tjokro menyodorkannya buku berjudul de franse revolutie”.[5]
Selain itu orasi
Tjokroaminoto yang menggelegar dan mampu menggetarkan hati masa tak terkecuali
lawannya, membuat Sukarno terpikat dan mulai meniru gaya sang guru, Anhar
gonggong menilai gaya orasi sukarno adalah hasil adopsinya dari Tjokroaminoto.[6]
Ketika Tjokroaminoto
berkeliling ke daerah daerah untuk mengkampanyekan gagasan-gagasan politiknya.
Sukarno tak segan-segan menawarkan diri untuk mendapingi sang guru kemanapun ia pergi
sembari mengamati dan menyadap sang guru berorasi.
“Cerminanku adalah Tjokroaminoto,
aku memperhatikan bagaimana dia menjatuhkan suaranya, aku melihat gerak
tubuhnya, dan mengamatinya untuk kepentinganku” kata Suarno.[7]
Tak hanya di glangangg lapang Sukarno
terus mencari cara bagaimana agar dirinya semakin dekat
dengan sang mentor. Seperti yang di ceritakan oleh Harsono Tjokroaminoto yang
di tulis oleh Soebagijo :
“Bung Karno memang sudah nampak keinginannya untuk menjadi orang yang
nomor satu. Mula-mula ia mendapatkan kamar di belakang dan karena keadaan,
penerangan pada waktu malam untuk belajar hanyalah lampu teplok belaka, yang
dekat kamar dengan Tjokroaminoto. Dan Tjokroaminoto dengan pandangan hatinya
yang tajam membiarkan Sukarno berbuat yang demikian”.[8]
Nuroni suyomukti menambahkan bahwa
julukan sang singa podium yang dilekatkan kepada sukarno sebenarnya merupakan
kata yang pernah melekat di dalam diri Tjokro.[9]
Berkat Tjokro, Sukarno muda tumbuh
menjadi pemuda yang kritis, cerdas, dan selalu berpihak kepada orang orang yang
lemah. Perkembangan Sukarno yang demikian juga disadari oleh Tjokro, untuk itu
setiap kali Tjokro kedatangan para tokoh tokoh nasional Tjokro selalu mengajak
Sukarno untuk mendengarkan dan ikut terlibat dalam meja meja diskusi seputar permasalahan
kebangsaan. Selain itu bersama kawan kawan kosannya seperti Darsono, Muso ia
sering berdiskusi seputar permasalahan yang dihadapi rakyat mengenai
kesengsaraan rakyat yang di akibatkan eksploitasi oleh kolonial :
Sukarno:“Berapa banyak yang di ambil
Belanda dari Indonesia”Tjokroaminoto: “De Verneigde Oost Indische Compagne”
kira-kira 1800 juta gulden dari tanah air kita setiap tahun untuk memberi makan
Den Haag”.Sukarno: “Apa yang tersisa di negeri kita, tanya Sukarno”.Alimin:
“Rakyat tani kita yang bekerja mandi keringat mati kelaparan karena hanya
mendapat penghasilan sebenggol sehari”.Muso: “Kita menjadi bangsa kuli dan
menjadi kuli di antara bangsa-bangsa”.Tjokroaminoto: “Sarekat Islam bekerja
untuk memperbaiki keadaan dengan mengajukan mosi-mosi kepada pemerintah.jelas
pak tjokro, yang kelihatan senang karena melihat murid yang begitu
semangat.”perjuangan pajak dan serikat-serikat buruh hanya dapat diatasi dengan
bekerja sama dengan Belanda, sekalipun kita membernci kerjasama ini ”.Sukarno: “Tapi
apakah baik membenci seseorang, sekalipun dia orang Belanda”.Tjokroaminoto:
“Kita tidak membenci rakyatnya, kita membenci sistem pemerintahan
kolonial”.Sukarno: “Mengapa keadaan kita tidak menjadi lebih baik jika rakyat
kita telah berjuang melawan sistem ini selama berabad-abad”.Alimin: “Karena
pahlawan-pahlawan kita selalu berjuang sendiri-sendiri Masing-masing berjuang
dengan pengikut yang kecil di daerah yang terisolasi dan terpencil. Sukarno:
“Ya, mereka kalah karena tidak bersatu,”.[10]
Berbekal mentor dari sang guru Sang putra
fajar tumbuh menjadi orang yang piawai dalam berdebat dan berdiskusi sehingga
tak sedikit perempuan yang tertarik kepadanya tak terkecuali anak sang mentor
yang jatuh ke pangkuannya “Oetari Tjokroaminoto”.
Keduanya akhirnya menikah dimana Sukarno
pada saat itu masih berusia sekian 14
tahun, dalam catatan Jonar T.H Situmorang di jelaskan bahwa sebenarnya
perkawaninan antara Sukarno dan Oetari lebih kepada berdasarkan rasa belas
kasih Sukarno kepada gurunya yang semasa di tinggal oleh Istri tercintanya
Sumarsikin, Tjokroaminoto merasa kwatir akan nasib anak anaknya karena di satu
sisi ia harus berjuang memimpin Sarekat Islam. Namun ada versi lain yang
mengatakan bahwa perkawinan mereka berdua karena adanya desakan dari ibu Sukarno
untuk meminang anak sang mentor.[11]
Sewaktu Tjokro di penjara karena di tuduh
oleh pemerintah menjadi dalang di balik pemberontakan SI Afdeling B di Garut,
Sukarno berperan menggantikan Tjokro sebagai tulang punggung keluarga dengan mengurusi anak anak mertuanya
bahkan ia sempat menyunatkan salah satu anak Tjokro.
Namun menjadi tulang punggung muda tak
menyurutkan Sukarno dalam melanjutkan perjalanan karirnya. Selepas Tjokro
keluar dari penjara. Sukarno kembali lagi ke ITB untuk melanjutkan sekolahnya.
Kehijrahannya ke bandung yang kedua kalinya inilah awal sang putera fajar mulai
memperjuangkan ide-idenya lewat organisasi yang berbeda dengan sang mertua yang
akhirnya inilah awal permulaannya
berpisah dengan sang mentor. Di dalam “Sarinah” ia menceritakan bahwa ia
bersama sang pemimpin sarekat Islam itu enam tahun lamanya.[12]
[1] Badri Yatim, Sukarno Islam dan Nasionalisme (Bandung:
Penerbit Nuansa, 2001), 5. Perlu diketahui bahwa sampai detik ini banyak orang
yang menilai bahwa Sukarno terlahir di Blitar, sebuah kota yang terletak di
selatan Jawa Timur. seperti yang pernah di kutip dalam pidato Presiden Joko widodo,
padahal hal ini sangatlah keliru karena dalam catatan sejarah dan pengakuan
langsung dari Sukarno mengatakan bahwa beliau terlahir di Surabaya , kotanya
para pahlawanan namun karena adanya distorsi sejarah yang dilakukan oleh
kelompok Orde Baru untuk mengenyahkan nama proklamor bangsa ini banyak orang
percaya bahwa beliau terlahir di kota Blitar.
[2] Salah
satu karyanya yang ia beri judul “Sarinah” adalah bentuk kecintaan dan
penghormatannya terhadap sosok perempuan yang selama ini merawat dan membentuk
kepribadiannya untuk menjadi Sukarno kecil yang selalu berpihak kepada orang-orang
yang terlantar dan miskin. Buku tersebut merupakan proyek terbesar sukarno untuk
memberikan apresiasi terhadap perempuan yang seama ini menjadi inspirasinya.
Tidak hanya melalui sebuah buku nama Sarinah juga beliau kukuhkan sebaga nama
Jalan dan gedung megah pertama kali yang dimiliki oleh bangsa ini pada era orde
lama. Baca Sukarno, Sarinah “ kewajiban Wanita
Dalam Perjuangan Republik Indonesia “ (Yogyakarta: Buku-buku Karangan
Presiden Sukarno,1963), 5-6.
[3] Badri, hal 8.
[4] Nuroni Suyomukti, Soekarno dan China (Yogyakarta: Garasi,
2012), 18-19.
[5] De franse
revolutie adalah sebuah buku tentang revolusi perancis, melalui buku
tersebutlah Kusno muda mulai mengembara memasuki gerbang gagasan revolusi di
benua Eropa yang menjadi tempat bersarangnya kapitalisme.
[6] Kamar sudut paling belakang menjadi saksi bagaimana sukarno muda
sering berlatih berorasi tatkala ia telah selesai mendengarkan ceramah ceramah
tjokroaminoto. “Persetan dengan penindasan” hancurkan imperialisme kata
Sukarno.
[7] Cindy Adam., Bung Karno Penyambung Lidah rakyat. hlm 7. Baca
juga Raharjo , Imam Toto K Suko Sudarso, Bung Karno Islam dan Pancasila,
NKRI (Jakarta: Penerbit KNRI, 2006), 543. Di dalam buku tersebut di
ceritakan bahwa ketika kongres gerakan wanita partai syarikat islam indonesia,
Sukarno mengatakan ,” I try to live up to the teaching of Tjokroaminoto”,.
[8] Soebagijo LN, Harsono Tjokroaminoto Mengikuti Jejak Perjuangan
sang ayah (Jakarta:Gunung Agung, 1985),8.
[9] Nuroni Suyomukti, Perempuan di mata Sukarno (Yogyakarta:
GARASI, 2009) ,67.
[10] Cindy Adam, Autobiografi Sukarno Penyambung Lidah Rakyat
(Jakarta:Yayasan Bung Karno, 2014), 4.
[11] Jonar T.H. Situmorang, Bung Karno Biografi Putra Sang Fajar (Yogyakarta:
Ar Ruzzmedia, 201lima), 196. Baca juga. Ipnu Rinto, The Love of Story of Bung
Karno (Yogyakarta: Buku Pintar, 2013), 60.
[12] Sarinah., 251.
No comments:
Post a Comment