Sekilas riwayat hidup sang pencetus Khilafah
Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo atau yang dikenal
dengan Kartosuwiryo lahir pada hari
selasa kliwon tanggal
7 Februari 1905 di Cepu, Jawa Tengah.[1] Sewaktu kecil Kartosuwiryo akrab disapa dengan nama Sekarmaji, nama “Kartosuwiryo”
sejatinya merupakan nama ayahnya. Ayahnya berprofesi sebagai Mantri Candu, yakni seorang pegawai yang tugasnya menjadi perantara dalam jaringan
distribusi
candu siap pakai yang diusahakan dan dikontrol oleh pemerintah kolonial
Belanda.[2] Dengan demikian
sebagai seorang anak pegawai
pemerintah, Kartosuwiryo hidup berpindah-pindah mengikuti
tugas ayahnya. Bermodalkan dorongan finansial dari orang tuanya itu maka Kartosuwiryo dapat memperoleh pendidikan yang cukup di masa kolonial Belanda.
Kartosuwiryo mulai mendapat pendidikan formal pada tahun 1911.
Pada waktu itu Kartosuwiryo masuk ke Sekolah “ongko loro" atau Sekolah Rakyat, sekolah yang diperuntukkan khusus bagi pribumi di desa tempat tinggal orang
tuanya yaitu di Pamotan, Rembang. Setelah menamatkan sekolah selama empat tahun, Kartosuwiryo melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Kelas Satu. Mula- mula Kartosuwiryo masuk ke Sekolah HIS (Hollansch-Inlandsche School) atau
Sekolah Bumiputera Bahasa Belanda di Rembang. Kemudian pada tahun 1919, setelah kedua orang tuanya pindah ke Bojonegoro, Kartosuwiryo sekolah di ELS
(Europese Lagere School) atau Sekolah Dasar Eropa di Bojonegoro. HIS dan ELS merupakan
sekolah yang khusus diperuntukkan bagi anak-anak priyayi
atau bangsawan. Bagi para pribumi sekolah-sekolah ini merupakan sekolah elite dan
tidak semua golongan
pribumi dapat masuk karena syarat-syaratnya yang sangat
ketat. Dengan demikian Kartosuwiryo sebagai seorang pribumi sangat beruntung sempat memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah elite tersebut.
Sewaktu di Bojonegoro Kartosuwiryo mulai mengisi masa remajanya dengan belajar mengenai
pendidikan agama. Pendidikan agama ia peroleh dari seorang tokoh
Muhammadiyah yang bernama Notodiharjo. Pemikiran-pemikiran Notodiharjo yang merupakan tokoh
Islam modern sangat mempengaruhi Kartosuwiryo dalam bersikap dan merespon ajaran-ajaran agama Islam.
Pada tahun 1923 Kartosuwiryo melanjutkan sekolahnya di
NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) atau Sekolah Dokter Hindia Belanda di
Surabaya. Selama di Surabaya ini Kartosuwiryo mulai aktif dalam politik. Awal mula keaktifannya dimulai sejak ia memasuki organisasi Jong Java di
Surabaya. Dalam organisasi ini ia dipercaya menjadi ketua Jong Java cabang Surabaya pada tahun
1924. Namun kemudian timbul
perselisihan
dalam
tubuh organisasi Jong
Java yang dipelopori oleh
anggota-anggota yang lebih mengutamakan cita-cita keislaman. Mereka ini
selanjutnya mendirikan organisasi
baru
dengan nama Jong Islamieten Bond pada tahun 1925.
Kartosuwiryo pun pada akhirnya pindah
ke organisasi yang baru itu dan tidak lama kemudian ia
menjabat sebagai ketua cabangnya di Surabaya.
Tjokroaminoto “sang guru spiritualku”
Aktif di organisasi Jong Java dan Jong Islamieten Bond, semasa masih menjadi siswa di Nederlandsch
Indische Artsen School atau biasa disebut Sekolah Dokter Jawa yang
berlokasi di Surabaya pada 1923. Sekarmajdi dikenal sebagai siswa yang rajin
membaca. saking hausnya akan buku-buku bacaan membuatnya
berlabuh kepada sang paman Mas marco, orang yang dikenal penulis ulung dan
memiliki segudang buku-buku bacaan terutama buku-buku yang bernuansa kiri. Selain itu marco juga dikenal sebagai
orang yang anti terhadap pemerintah dan selalu menjadi benalu, kedekatan
Sekarmadji dengan tokoh merah ini
akhirnya tercium oleh pihak sekolah yang
sejak awal melarangnya hingga akhirnya ia harus terdepak dan tidak bisa
melanjutkan karirnya di sekolah dokter jawa itu. [3]
Akhirnya
sang pencetus negara islam ini pergi melamar menjadi murid Tjokroaminoto yang
ia kenal orang yang sangat berpengaruh di Surabaya dan ia ketahui di saat
pidato pidato di depan masa sarekat Islam. Berbekal menjadi wartawan di surat
kabar fajar asia milik Sarekat Islam untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Melihat kecerdikan dan keuletan sekarmaji. Tjokroaminoto akhirnya mengangkatnya
menjadi sekertaris pribadinya pada bulan September 1927.
Tjokroamnoto
bagi sekarmaji bukan hanya sosok seorang guru pergerakan melainkan guru
spiritualnya yang membawanya kedalam hakikat keislamanan sesungguhnya, maka tak
heran bahwa banyak tokoh yang mengatakan bahwa keislaman sekarmaji sangat
mencerminkan keislamanan Tjokraominoto.
Pondasi
keislaman yang mengakar kuat tercermin dalam diri Sekamarmaji, hal tersebut
terlihat dari kebijakan-kebijaknnya yang cenderung islamis yang juga membawanya untuk menjadikannya Indonesia sebagai
negara “khilafah”, di samping kekecewaan-kekecewaannya terhadap
tokoh-tokoh pergerakan yang selama ini
telah banyak merugikan pihak islam.[4]
[2] Ruslan dkk, Mengapa mereka memberontak ? dedekdot negara Islam
Indonesia (Yogyakarta: Bio Pustaka, 2003), 3.
[3] Mas Marco Kartodikromo adalah seorang wartawan yang berhaluan kiri
yang lahir di Cepu pada 25 maret 1860 dan merupakan anggota Medan prijaji yang
seangkatan dengan Ki Haja Dewantara dan Tirto Adi Soerjo. Ia juga dikenal
sebagai tokoh yang keras menyuarakan aspirasi rakyat secara terbuka melalui
tulisan tulisannya yang khas, ia juga merupakan tokoh yang pertama kali
mendirikan himpunan jurnalis atau Inlandsche Journalisten Bond melalui Journal
Doenia Bergerak. Pada awalnya ia juga bergabung dengan dengan Sarekat islam, namun berkat pengaruh
Snevlite dan cara berfikirnya yang radikal membuatnya bergabung dengan partai
komunis indonesia pimpinan Snevlite. Baca Takashi Siraishi , Zaman Bergerak
Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (Jakarta: Grafiti Pers, 2005).
[4] Sikap nonkooperatif sekarmaji yang sudah terbentuk ketika ia
bersama sang guru Tjokroaminoto dan kekecewaannya atas perundingan Renvile yang
sangat merugikan Islam adalah alasan kuat mengapa kelak ia mendirikan Negara
Islam Indonesia, dan konsepnya inilah yang sekaligus membawanya ke tiang
kematian di bawah komando teman seperjuangannya “Sukarno”.
No comments:
Post a Comment