Monday, 25 May 2020

Judul buku    : Luka Perempuan Asap : air mata di antara pohon sawit
Penulis     : Nafi`ah Al-Ma`rab
Penerbit   : Tinta Medina
Tahun          : 2017
Tmpt/Tggl/bln/thn sinopsis buku : Temboro, 03 Maret 2019.

Luka Perempuan Asap : air mata di antara
 pohon sawit

Kurang lebih 4 jam lamanya saya melalap novel ini. novel yang sangat asyik untuk dijadikan teman ngobrol, mengajak ke alam fantastis dan yang lebih menarik adalah novel ini ditulis oleh seorang penulis yang menjadi tokoh utama dalam cerita ini.  “Luka perempuan ASAP”, ya itulah judulnya mengangkat sebuah realitas kehidupan nyata bukan sekedar cerita. Berawal dari perjalanan seorang perempuan yang bernama Mun anak tunggal juragan sawit. Mun harus rela menerima kenyataan bahwa sang ayah memaksanya untuk menikah dengan orang yang menurut sang ayah memiliki derajat sosial masyarakat yang sama. Sementara Mun tidak bisa mengela kenyataan itu, walaupun ia sudah mencoba berkali-kali meyakinkan sang ayah bahwa Marjo si calon bukanlah laki-laki baik yang bisa membimbingnya. Kemasyuran Marjo selaku anak bos sawitlah yang membuat ayah si Mun buta akan kenyataan. Hati dan pikiran si Mun pun bercampur aduk sehingga ia sempat melarikan diri ke Jogjakarta bahkan sempat bekerja serabutan. Di samping itu masalah lain muncul, ia harus berurusan dengan dosen pembimbingnya ibu Wilda yang memanfaatkan si Mun selaku anak bimbingannya dalam urusan proyek penelitian sawit yang disokong oleh pihak asing. Ia harus memilih mengikuti sarannya atau tidak bisa lulus sebagai seorang sarjana, dalam penelitian tersebut si Mun harus meyakinkan para petani sawit bahwa tanaman sawit sangat berbahaya untuk kelangsungan hidup masyarakat kampung belum lagi pembukaan lahan dengan cara pembakaran ilegal yang telah membuat Riau diselimuti bencana asap yang telah merenggut banyak korban. Tak hanya sampai disitu derita yang dialami oleh Mun, Marjo laki-laki yang diidam-idamkan oleh ayahnya ternyata berhati busuk ia menguras kekayaan sang ayah Mun dengan memanfaatkan statusnya sebagai calon menantu. Inilah awal kehancuran keluarganya. Akhirnya sang ayahpun benar-benar bangkrut. Krisis yang telah melanda dunia telah menyebabkan harga sawit sangat tak manusiawi belum lagi Marjo telah banyak menguras hartanya. Depresi yang dialamai ayah Mun menyebabkan sang ayah mengalami penyakit parah. Sementara Ibu Wilda selaku dosennya harus menerima sebuah sanksi dari rektorat kampus karena telah memperjual belikan penelitiannya demi kepentingan pribadi. Ia dikeluarkan dari kampus secara tidak terhormat. Sakit yang diderita sang ayah kian parah, sedangkan segala cara telah Mun perbuat termasuk mengeluarkan hartanya sampai tak tersisa. Akhirnya  Mun pun bersama sang ayah harus tinggal di rumah kontrakan, hari-harinya ia habiskan untuk merawat sang ayah padahal ia disisi lain harus mencari bekal untuk kebutuhan sehari-hari. Sampai pada masa akhir detik-detik kematian sang ayah, sang ayahpun tidak tega melihat anaknya dan ia memintanya untuk mencari seorang suami paling tidak ada agar ada seseorang yang menjaganya. Si mun pun berusaha keras untuk mencari calon suami berdasarkan permintaan sang ayah. Melalui Marisa teman se kampus dengannya Mun pun dikenalkan dengan banyak laki-laki tapi tak satupun sesuai dengan prinsip si Mun sampai ajal menjemput nyawa sang ayah. Pada akhir cerita seorang laki-laki yang pernah menjadi bosnya sewaktu Mun bekerja di Jogjakarta tak disangka datang kepadanya membawa sebuah berita yang telah lama ia nanti, laki-laki itu memintanya untuk menjadi teman hidup sekaligus  mengajaknya mengarungi lautan cinta yang halal di mata Allah S.W.T
      
      


Saturday, 3 November 2018

Tan Malaka & H.O.S Tjokroaminoto "Lahirnya Pendidikan SI Merah"

Sumber gambar : https://metrosemarang.com/sering-dipakai-rapat-pki-gedung-si-merah-nyaris-dibakar-tentara-26328.

Pada bulan juli 1921 Tan hijrah ke Jawa, hal ini di dorong oleh rasa penasarannya mengenai organisasi sarekat islam yang dikenal anti penjajah yang membuming di seantaro tanah air.
Yogyakarta, disinilah kota pertama yang ia jejaki, dan di kota inilah ia bertemu dengan sang pemimpin sarekat islam itu “Oemar Said”. Sewaktu kkongres Sarekat Islam di selenggarakan di Jogjakarta, Tan di ajak oleh sahabat karibnya Soetopo ke kongres SI dan dikenalkannya kepada pemimpin sarekat islam Oemar Said Tjokroaminoto. Dalam pertemuannya dengan Tjokro ini, Tan menilai bahwa sewaktu dirinya pertama kali bertemu dengannya ia sangat bersahaja dan mau menerima siapapun.
Hal itu terbukti dengan dipinang oleh Tjokro untuk membantu pergerakannya dengan bersedia menjadi guru di cabang Sarekat Islam Semarang. Tawaran Tjokro disambut baik oleh Tan, dan akhirnya ia mulai merumuskan kurikulum sekolah yang disesuaikan dengan cita citanya. Inisiatif Tan ini disambut baik oleh Semaun sebagai ketua SI Semarang, melalui jalan rapat istimewa didirikanlah perguruan tinggi yang dicita citakan olehnya hingga masyarakat sekitar lebih mengenalnya sebagai sekolah SI ala Tan Malaka.[1]
Saudara Pan Islamisme
Sarekat islam sebagai lokomotif dari perjuangan rakyat pribumi yang dinahkodai oleh si Oemar Said, telah membawa angin segar atas kepercayaan diri rakyat untuk sama sama tampil di atas panggung perlawanan dalam melawan kapitalisme kolonial.
Jargon sama rata sama rasa yang didengung dengungkan Tjorko dalam setiap perjalanan kampanye politiknya tidak sia sia, Sarekat Islam semakin jaya tumbuh dan menjelma menjadi organisasi terbesar di seluruh seantaro tanah air bahkan di kawasan Asia. Tjokroaminoto meyakini bahwa dengan semangat islam, umat islam akan bersatu dan hal ini akan mempermudah untuk meruntuhkan kekuasaan kolonial. nama Sarekat Islam kian membuming hingga akhirnya membangunkan si Tan untuk ikut terlibat dalam perjuangan organisasi ini. Disadari atau tidak dalam beberapa catatan sejarah dinyatakan bahwa semangat Tjokroaminoto untuk mempersatukan umat islam terinspirasi dari keberhasilan Pan Islamisme Turki yang berhasil membawa islam kepada kejayaannya.[2] Seperti yang dikatakan oleh korver, Tjokroaminoto menggangap Pan Islamisme sebagai fokus perjuangan politik SI karena akan melahirka benih benih demokrasi yaitu persamaan antar umat manusia.[3]
Jalan pemikiran Tjokroaminoto inilah yang dianggap oleh Tan Malaka sebenarnya mempunyai kesamaan dengan komunisme yang mempunyai tujuan yang sama untuk menghancurkan dunia kapitalisme karena ia telah menginspirasi umat islam untuk terus melawan kolonial hindia belanda.[4] Untuk itu ketika Internasionale komunis yang ke-4 tahun 1922:
“Pan-Islamisme adalah sebuah sejarah yang panjang. Pertama saya akan berbicara tentang pengalaman kita di Hindia Belanda dimana kita telah bekerja sama dengan kaum Islamis. Di Jawa kita memiliki sebuah organisasi yang sangat besar dengan banyak petani yang sangat miskin, yaitu Sarekat Islam. Antara tahun 1912 dan 1916 organisasi ini memiliki sejuta anggota, mungkin sebanyak tiga atau empat juta. Itu adalah sebuah gerakan popular yang sangat besar, yang timbul secara spontan dan sangat revolusioner”.[5]
Dari pidato Tan Malaka tersebut sangat jelas bagaimana Tan sangat apresisif sekali terhadap Pan-Islamisme yang mampu menjadi motor pemersatu antara komunisme dan Islam. Untuk itu ia sangat  menyesalkan sikap para pemuka PKI yang cendrung menyerang Tjokroaminoto secara personal yang pada akhirnya menyebabkan dilakukannya disiplin partai pada tahun 1921. Karena dalam kerangka berfikir Tan Malaka, seharusnya gerakan Tjokroaminoto didukung bukan malah dimusuhi. Dalam artian ini Tan Malaka malah mengkritik rekan-rekan komunisnya yang dianggapnya bertindak gegabah dalam memaknai gerakan Pan Islamismenya Tjokroaminoto. Apalagi dalam kurun waktu tersebut SI dan Tjokroaminoto pun telah mengadopsi nilai-nilai komunisme dalam perjuangan pembebasan rakyat jelata. Atas pemahaman inilah akhirnya keputusan Internasionale III yang menentang “Pan Islamisme dan kecendrungan-kecendrungan serupa” dicabut.[6]
Menurut Anhar Gonggong, Tan Malaka adalah tokoh yang dekat dengan Tjokroaminoto. Tan Malaka memiliki keyakinan yang sama bahwa Islam adalah potensi besar untuk membawa kaum bumiputra menuju kemerdekaan. Hal ini terbukti dengan pembentukan SI “merah” oleh Tan Malaka, karena ia tidak ingin Islam dipertentangkan dengan komunisme. Karena pemikirannya ini, dan juga ketidaksepahamannya untuk melakukan revolusi PKI tahun 1926 menyebabkannya harus didepak dari PKI.[7]




[1] Tan Malaka, 2008, 93-94.
[2] Pan islamisme adalah sebuah paham yang mempercayai bahwa kemunduran islam diakibatkan oleh lemahnya persatuan umat Islam untuk itu islam harus bersatu pada melawan kekuatan asing. Selain itu campur tangan barat dalam memecah belah umat islam sudah melampaui batas batas kemanusian. Paham ini di pelopori oleh yang dipelopori oleh seorang muslim Revolusioner yaitu Jalamaludin Al Afgani. Baca Harun Nasution, Pembaharu dalam Islam Jakarta: Bulan bintang, 1957), 55. Atau baca juga. Ahmad Mansur Surya negara, Api Sejarah (Bandung: PT. Gravindo Media Utama, 2012), 332-334.
[3] A.P.E Korver, Sarekat Islam: Gerakan Ratu Adil ? (Jakarta: Grafiti Pers, 1985),  240.
[4]Lihat pidato Tan Malaka dalam kongres Internasionale tahun 1922 dalamhttp://www.marxists.org/indonesia/archive/malaka/1922-PanIslamisme.htm,
[5] Tempo, Tan Malaka Bapak Republik yang Dilupakan (Jakarta: PT. Gramedia, 2010), 76.
[6] Bernad Dahm  1987,  Seokarno dan Perjuangan Kemerdekaan Jakarta: LP3ES, 1987), 88.
[7] Yudomehendro dalam “ H.O.S Tjokroaminoto Tan Malaka Sosialis Pendukung sosialis di posting pada februari 2011.

Tjokroaminoto ; Guru & Sahabat Sejatiku Pesan Agus Salim

Pada tahun 1915 Haji Agus Salim hijrah ke tanah jawa, dan bekerja di Balai Pustaka, disamping itu ia tercatat sebagai redaktur majalah neraca (majalah milik Abdul Muis). 
Selang beberapa waktu kemudian Agus Salim bekerja di pemerintahan belanda sebagai mata-mata kepolisian. khususnya untuk  organisasi yang dicurigai membahayakan pihak pemerintah.  Organisasi pertama yang ia selidiki adalah Sarekat Islam. Penyelidikan inilah yang mengantarkannya bertemu dengan dengan Tjokroaminoto seperti yang ia ceritakan di dalam bukunya Mulawarman Jang Oetama :
Perkenalan pertama saya dengan organisasi ini ... terjadi pada waktu saya sebagai anggota seksi politik polisi. Saya diminta untuk menyelidiki kebenaran tentang rumor yang mengatakan bahwa Tjokroaminoto telah menjual Sarekat Islam kepada Jerman seharga f150.000; dan dengan uang inimemungkinkanya untuk melakukan pemberontakan berskala luas di Jawa yang disuplai senjata oleh Jerman. Dari semula saya meyakini dua hal: Pertama, bahwa rumor itu nonsens, dan kedua¸bahwa jika pemberontakan itu menjadi kenyataan, ia hanyalah akan mengakibatkan suatu malapetaka besar bagi negeri dan rakyat. Saya terimalah tugas itu, tetapi pada waktu itu saya juga beritahukan perwira atasan saya tentang keyakinan di atas ...  Penyelidikan itu membawa saya kepada pengetahuan yang lebih dalam tentang Sarekat Islam, terutama tentang kepemimpinan Tjokroaminoto dan ini menyebabkan saya turut serta dalam gerakan itu, setelah itu saya putuskan hubungan saya dengan kepolisian”.[1]
Tepat pada tahun 1915 Agus salim resmi bergabung dengan organisasi sarekat Islam. Organisasi ini juga menjadi karier pertamanya masuk kedalam dunia pergerakan politik nasional. Setelah memalui proses panjang berdasarkan hasil penyelidikannya mengenai sarekat Islam, Ia benar-benar mengetahui betul bahwa sarekat islam yang di pimpin oleh H.O.S tjorkoaminoto memiliki kesamaan visi dengan cita citanya selama ini.
Semua itu tidak terlepas dari kekagumannya terhadap Tjokroaminoto sebagai orang pribumi yang sangat lantang menentang secara terbuka terhadap penindasan yang di lakukan oleh kolonial.  Sampai-sampai Tokoh yang menguasai berbagai bahasa ini bersumpah bahwa ia akan selalu hijrah bersama sang pemimpin kemanapun ia pergi.
Untuk itu ketika Agus salim berada dalam organisasi SI. Agus salim menjadi orang yang selalu menjadi benteng dan penguat tatkala ada seseorang yang mencibir Tjokroaminoto. Sehingga hal tersebut menambah kemajuan bagi perjalanan SI sampai akhirnya menjadi organisasi terbesar di Asia dengan anggota lebih dari 2,5 juta.
Bagi agus salim Tjokroaminoto bukan hanya patner di dalam membangun pergerakan politiknya di Sarekat Islam melainkan ia adalah seorang yang guru dan sahabat yang menjadi panutan dalam perjalanan hidupnya. Bahkan Mulawarman secara gamblang menerangkan bahwa:
Agus salim dan Tjokro tak pernah berselisih pendapat, akur dalam bekerja sama, bahu membahu membawa sarekat Islam menjadi partai Islam pertama di Indonesia dengan anggota tak terkalahkan oleh parta-partai maupun organisasi-organisasi pada masanya”.[2]
Seperti yang kita ketahui bahwa Gerakan Pan Islamisme yang terjadi di Turki dan pengaruh bacaan bacaannya terhadap karangan Al Afgani yang mengajak bahwa umat islam harus bersatu memiliki kesamaan yang sama dengan visi Tjokroaminoto hingga pada tahun 1921, ia bersama Tjokro menggagas kongres Majlis Ulama untuk menjembatani dan merangkul seluruh organsasi islam.
Kota Cierbon menjadi saksi awal kongres islam yang mereka  gagas akhirnya tercapai. Kongres Kedua selanjutnya dilaksanakan di Kota Jogjakarta pada tahun 1933, yang kemudian menjadi sisa sisa waktunya bersama Sang guru Tjokroaminoto yang meninggal pada tahun 1934.[3]



[1] Aji Dedi Mulawarman, Jang Oetama Jejak dan Perjuangan H.O.S Tjokroaminoto (Yogyakarta: Galang Pustaka, 2015), 215-216.
[2] Aji Mulawarman, 213.
[3] Solikin Salam, 64.

Agus Salim "Bapak Indonesia Dengan Berbagai Bahasa"



Sumber gamb : Tirto.com
Sekilas riwayat sang bapak bahasa
 Haji Agus Salim yang hidup pada tahun 1884 M dan wafat tahun 1954 M, nama aslinya adalah Mashadul  Haq, dilahirkan  pada tanggal 8 Oktober  1884 M di kota Gadang Bukittinggi Sumatra Barat.[1] Ia adalah seorang ulama, intelek, pendidik, wartawan, ahli bahasa dan pejuang kemerdekaan. Ayahnya Haji Agus Salim adalah seorang kepala kejaksaan di Riau, ia adalah  bernama  Sutan  Mahmud  Salim,  iberasal  dari  keluarga  muslim ambtenar (pegawa Belanda)   dan   sedikit   sekali   mengena pendidikan madrasah.[2]
Ayahnya Haji Agus Salim adalah seorang kepala kejaksaan di Riau, ia adalah  bernama  Sutan  Mahmud  Salim,  ia  berasal  dari  keluarga  muslim ambtenar   (pegawai   Belanda)   dan   sedikit   sekali   mengenal   pendidikan madrasah.
Setelah mencapai umur 7 tahun, maka Haji Agus Salim mulai sekolah, pertama-tama  Haji  Agus  Salim  sekolah  ELS  (Eropeesche  Lagere  School). Karena ayah Haji Agus Salim sebagai ambtenar maupun sebagai bangsawan tinggi,  memudahkan  Haji  Agus  Salim  untuk  memasuki  sekolah.  Selama berada disekolah Haji Agus Salim tidak mengalami kesulitan karena memang Haji Agus Salim anak yang cerdas. Selain ia mengikuti pelajaran sekolah, Haji Agus  Salim  masih  sempat  mengaji  al-Qur’an seperti layaknya anak-anak kampung   lainnya.  Sehingga   walaupun   ia  anak  priyayi  tidak  lepas  dari pengaruh lingkungan.
Setelah   tamat   disekolah   ELS,   maka   Haji   Agus   Salim   berniat meneruskan pelajarannya di Jakarta yaitu disekolah HBS (Hogere Burger School),  Haji Agus Salim belajar di sekolah  HBS selama  5 tahun.  Selama belajar di HBS hasil yang dicapai Haji Agus Salim tidaklah mengecewakan karena ia selalu mendapat ranking dalam sekolahnya. Setelah tamat di HBS banyak guru yang simpatik dengan Haji Agus Salim, bahkan ada yang mengusahakan  beasiswa  untuk  belajar  di  STOVIA  (School  Tot  Opleideng Van Inlandshe Astsen), namun ia gagal masuk dalam sekolah tersebut.
Setelah  Haji  Agus  Salim  gagal  melanjutkan  di  STOVIA,  maka  ia berniat untuk bekerja dan pada tahun 1906 M ia diangkat menjadi konsultan Belanda di Jeddah. Haji Agus Salim memangku jabatan sebagai sekretaris dragemen dari tahun 1906 sampai 1911 M.[3]
Haji  Agus  Salim  menimba  ilmu  pengetahuan  agama  di  Makkkah dengan pamannya yang bernama Ahmad Khatib yang sudah dahulu menetap di Makkah,  pamanya  bertugas  sebagai  guru  di Masjidil  Haram.  Haji  Agus Salim   lebih   giat   belajar   agama   dengan   pamannya   karena   ditanah   air (Indonesia) sangat sedikit untuk memperoleh pendidikan agama.
Selain memperdalam ilmu agama Islam, Agus salim juga banyak mempelajari buku buku pemikir Islam, seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin Al Afgani, dan Rasyid Ridha ia melancarkan paham Pan Islamisme.
Pasca kembalinya ke tanah air, Agus salim mendirikan sekolah HIS (Holladd Inlandshe School) yaitu sebuah sekolah yang mengkombinasikan pendidikan umum dan keislaman, selain itu kurikulum sekolah didasarkan atas cinta kebangsaan, menurut agus salim hal ini bertujuan agar mereka (bumi putera) tumbuh sebagai manusia yang percaya diri dan tidak gampang pasrah sebagaimana yang terjadi di masyarakat umum.[4]
Pada tahun 1915 Haji Agus Salim hijrah ke tanah jawa, dan bekerja di Balai Pustaka, disamping itu ia tercatat sebagai redaktur majalah neraca (majalah milik Abdul Muis). 




[1] Deliar Noer, The Modernist Muslim Movemen in Indonesia 1900-1942 (Kuala Lumpur: Oxfood University Prees, 1973), 110.
[2] Shalikin salam, Haji Agus Salim Hidup dan Perjuangan (Jakarta: Djaya Murni, 161), 9. Baca juga biografi singkat Agus Salim, Arya Ajisaka, Mengenal Pahlawan Indonesia (Jakarta: Kawan Pustaka, 2008), 81. Iwan Setiawan, Tokoh-tokoh Fenomenal Paling Mempengaruhi Wajah Indonesia (Yogyakarta: Laksana, 2011), 151.
[3] Suharto, Tokoh tokoh Pemikir Paham Kebangsaan: Haji Agus Salim dan Muhammad Husni Thamrin (Jakarta: CV. Dwi Jaya Karya, 1), 10.
[4] hlm. 14.

Mengenal lebih dekat Kartosuwiryo "Sang Proklamator Negarah Khilafah Indonesia"

Sekilas riwayat hidup sang pencetus Khilafah
Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo atau yang dikenal dengan Kartosuwiryo lahir pada hari selasa kliwon tanggal 7 Februari 1905 di Cepu, Jawa Tengah.[1] Sewaktu kecil Kartosuwiryo akrab disapa dengan nama Sekarmaji, nama Kartosuwiryosejatinya merupakan nama ayahnya. Ayahnya berprofesi sebagai Mantri Candu, yakni seorang pegawai yang tugasnya menjadi perantara dalam jaringan distribusi candu siap pakai yang diusahakan dan dikontrol oleh pemerintah kolonial Belanda.[2] Dengan demikian sebagai seorang anak pegawai pemerintah, Kartosuwiryo hidup berpindah-pindah mengikuti tugas ayahnya. Bermodalkan dorongan finansial dari  orang tuanya itu maka Kartosuwiryo  dapat memperoleh pendidikan yang cukup di masa kolonial Belanda.
Kartosuwiryo mulai mendapat pendidikan formal pada tahun 1911. Pada waktu itu Kartosuwiryo masuk ke Sekolah ongko loro" atau Sekolah Rakyat, sekolah yang diperuntukkan khusus bagi pribumi di desa tempat tinggal orang tuanya yaitu di Pamotan, Rembang. Setelah menamatkan sekolah selama empat tahun, Kartosuwiryo melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Kelas Satu. Mula- mula Kartosuwiryo masuk ke Sekolah HIS (Hollansch-Inlandsche School) atau Sekolah Bumiputera Bahasa Belanda di Rembang. Kemudian pada tahun 1919, setelah kedua orang tuanya pindah ke Bojonegoro, Kartosuwiryo sekolah di ELS (Europese Lagere School) atau Sekolah Dasar Eropa di Bojonegoro. HIS dan ELS merupakan sekolah yang khusus diperuntukkan bagi anak-anak priyayi atau bangsawan. Bagi para pribumi sekolah-sekolah ini merupakan sekolah elite dan tidak semua golongan pribumi dapat masuk karena syarat-syaratnya yang sangat ketat. Dengan demikian Kartosuwiryo sebagai seorang pribumi sangat beruntung sempat memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah elite tersebut.
Sewaktu di Bojonegoro Kartosuwiryo mulai mengisi masa remajanya dengan belajar mengenai pendidikan agama. Pendidikan agama ia peroleh dari seorang tokoh Muhammadiyah yang bernama Notodiharjo. Pemikiran-pemikiran Notodiharjo yang merupakan tokoh Islam modern sangat mempengaruhi Kartosuwiryo dalam bersikap dan merespon ajaran-ajaran agama Islam.
Pada tahun 1923 Kartosuwiryo melanjutkan sekolahnya di NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) atau Sekolah Dokter Hindia Belanda di Surabaya. Selama di Surabaya ini Kartosuwiryo mulai aktif dalam politik. Awal mula keaktifannya dimulai sejak ia memasuki organisasi Jong Java di Surabaya. Dalam organisasi ini ia dipercaya menjadi ketua Jong Java cabang Surabaya pada tahun 1924. Namun kemudian timbul perselisihan dalam tubuh organisasi Jong Java yang dipelopori oleh anggota-anggota yang lebih mengutamakan cita-cita keislaman. Mereka ini selanjutnya mendirikan organisasi baru dengan nama Jong Islamieten Bond pada tahun 1925. Kartosuwiryo pun pada akhirnya pindah ke organisasi yang  baritu dan tidak  lama kemudian ia  menjabasebagai ketua cabangnya di Surabaya.
Tjokroaminoto “sang guru spiritualku”
Aktif di organisasi Jong Java dan Jong Islamieten Bond, semasa masih menjadi siswa di Nederlandsch Indische Artsen School atau biasa disebut Sekolah Dokter Jawa yang berlokasi di Surabaya pada 1923. Sekarmajdi dikenal sebagai siswa yang rajin membaca.  saking hausnya akan buku-buku bacaan membuatnya berlabuh kepada sang paman Mas marco, orang yang dikenal penulis ulung dan memiliki segudang buku-buku bacaan terutama buku-buku yang bernuansa kiri. Selain itu marco juga dikenal sebagai orang yang anti terhadap pemerintah dan selalu menjadi benalu, kedekatan Sekarmadji dengan tokoh merah ini akhirnya tercium oleh  pihak sekolah yang sejak awal melarangnya hingga akhirnya ia harus terdepak dan tidak bisa melanjutkan karirnya di sekolah dokter jawa itu. [3]  
Akhirnya sang pencetus negara islam ini pergi melamar menjadi murid Tjokroaminoto yang ia kenal orang yang sangat berpengaruh di Surabaya dan ia ketahui di saat pidato pidato di depan masa sarekat Islam. Berbekal menjadi wartawan di surat kabar fajar asia milik Sarekat Islam untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Melihat kecerdikan dan keuletan sekarmaji. Tjokroaminoto akhirnya mengangkatnya menjadi sekertaris pribadinya pada bulan September 1927.
Tjokroamnoto bagi sekarmaji bukan hanya sosok seorang guru pergerakan melainkan guru spiritualnya yang membawanya kedalam hakikat keislamanan sesungguhnya, maka tak heran bahwa banyak tokoh yang mengatakan bahwa keislaman sekarmaji sangat mencerminkan keislamanan Tjokraominoto.
Pondasi keislaman yang mengakar kuat tercermin dalam diri Sekamarmaji, hal tersebut terlihat dari kebijakan-kebijaknnya yang cenderung islamis yang  juga membawanya untuk menjadikannya Indonesia sebagai negara “khilafah”, di samping kekecewaan-kekecewaannya terhadap tokoh-tokoh pergerakan yang selama ini  telah banyak merugikan pihak islam.[4]



[1]Pinardi, Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo (Jakarta: Aryaguna,1964), 20.
[2] Ruslan dkk, Mengapa mereka memberontak ? dedekdot negara Islam Indonesia (Yogyakarta: Bio Pustaka, 2003), 3.
[3] Mas Marco Kartodikromo adalah seorang wartawan yang berhaluan kiri yang lahir di Cepu pada 25 maret 1860 dan merupakan anggota Medan prijaji yang seangkatan dengan Ki Haja Dewantara dan Tirto Adi Soerjo. Ia juga dikenal sebagai tokoh yang keras menyuarakan aspirasi rakyat secara terbuka melalui tulisan tulisannya yang khas, ia juga merupakan tokoh yang pertama kali mendirikan himpunan jurnalis atau Inlandsche Journalisten Bond melalui Journal Doenia Bergerak. Pada awalnya ia juga bergabung dengan  dengan Sarekat islam, namun berkat pengaruh Snevlite dan cara berfikirnya yang radikal membuatnya bergabung dengan partai komunis indonesia pimpinan Snevlite. Baca Takashi Siraishi , Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (Jakarta: Grafiti Pers, 2005).
[4] Sikap nonkooperatif sekarmaji yang sudah terbentuk ketika ia bersama sang guru Tjokroaminoto dan kekecewaannya atas perundingan Renvile yang sangat merugikan Islam adalah alasan kuat mengapa kelak ia mendirikan Negara Islam Indonesia, dan konsepnya inilah yang sekaligus membawanya ke tiang kematian di bawah komando teman seperjuangannya “Sukarno”.